Menggurat Visi Kerakyatan

SELF-DIAGNOSIS: SOLUSI ATAU BUMERANG?

Ichwan Widiyanata Prayogi

Ilustrasi seorang yang mengalami tekanan mental (Sandi/Ideas)
25

Di zaman ketika YouTube, thread Twitter, dan media sosial lain dianggap mampu menjawab segalanya, diagnosis kesehatan mental kini juga sering dilakukan tanpa melibatkan ahli. Mulai dari mendiagnosis stres akademik sebagai depresi klinis, hingga meyakini mood swing sebagai gejala Borderline Personality Disorder (BPD). Media sosial telah menjadi dokter tanpa izin praktik. Tapi apa yang kita harapkan dari algoritma media sosial yang hanya peduli pada engagement?

Tragedi yang menimpa DRY, mahasiswa FISIP Universitas Jember seharusnya menjadi pengingat keras bahwa kesehatan mental bukan sekadar tren media sosial atau topik diskusi di tongkrongan. Tapi kita hidup di dunia dimana kampus sering kali lebih sibuk dengan urusan akreditasi ketimbang kesejahteraan mental mahasiswanya. Ironi yang sangat menyakitkan, bukan?

Fenomena self-diagnosis kini menjadi tren yang perlu dicermati. Di satu sisi, fenomena ini menunjukkan keinginan individu untuk lebih mengenali dirinya sendiri. Namun di sisi lain, banyak orang lebih percaya pada informasi dari konten kreator di media sosial daripada mencari panduan dari profesional kesehatan.

Tidak perlu riset mendalam untuk mengetahui bahwa ini adalah resep bencana. Bagaimana tidak? Jika algoritma media sosial didesain untuk “mencocokkan” kita dengan apa yang ingin kita dengar, maka self-diagnosis hanya memperkuat bias, menciptakan rasa takut berlebihan, bahkan membuat kita merasa menjadi manusia yang paling tidak baik-baik saja di dunia.

Lebih jauh, dampak dari self-diagnosis sering kali lebih luas dan lebih berbahaya dari yang terlihat di permukaan. Di dunia maya, fenomena ini seperti bom waktu, konten-konten yang terlihat “menginspirasi” malah berakhir memicu kecemasan massal. Deskripsi gangguan mental yang disampaikan secara dangkal sering kali menyeret mahasiswa ke dalam siklus kecemasan yang terus berulang. Dengan mudahnya, algoritma TikTok menyajikan video-video serupa, hingga gejala stres akibat tugas kuliah terasa seperti tanda-tanda gangguan mental kronis. Ironisnya, yang seharusnya menjadi alat bantu pemahaman diri justru memproduksi rasa takut yang tidak perlu.

Mari kita bayangkan seorang mahasiswa yang sudah tertekan dengan tumpukan tugas dan jadwal kuliah yang padat. Ia membuka TikTok untuk sekadar mencari hiburan, tapi alih-alih terhibur, ia malah menemukan video tentang “5 tanda kamu mungkin depresi”. Gejala yang dijelaskan terdengar akrab, seperti susah tidur, malas makan, kesulitan berkonsentrasi atau hal-hal yang sebenarnya wajar dialami oleh mahasiswa menjelang ujian. Namun, alih-alih merasa lega karena ternyata gejala tersebut normal, mahasiswa ini malah mengira dirinya sedang dalam fase depresi berat. Ia pun merasa semakin tertekan, bahkan mungkin mulai meyakini bahwa hidupnya “tidak ada harapan”. Dalam kasus seperti ini, informasi yang salah arah tidak hanya menambah beban psikologis, tapi juga menciptakan rasa putus asa yang sangat berbahaya.

Dampaknya tidak berhenti di sana. Self-diagnosis yang keliru sering kali mendorong individu untuk menghindari bantuan profesional. Ada dua pola besar yang terjadi. Mereka yang mencoba mencari pertolongan kerap dihadapkan pada stigma yang menghancurkan: dianggap lemah, berlebihan, atau sekadar mencari perhatian, dan mereka yang terlalu takut untuk mencari pertolongan karena merasa masalahnya terlalu kompleks atau tidak bisa diselesaikan.

Lebih parah lagi, fenomena ini memperbesar jurang kesenjangan dalam pemahaman dan akses terhadap kesehatan mental. Mereka yang memiliki keterbatasan akses ke tenaga medis profesional semakin rentan terhadap pengaruh konten media sosial yang menyesatkan. Dalam banyak kasus, mereka yang sudah mencoba self-diagnosis tanpa hasil akan merasa semakin teralienasi, mempercayai bahwa “mereka tidak bisa disembuhkan”. Bahkan, beberapa dari mereka mungkin mencoba pengobatan mandiri yang justru memperburuk kondisi mereka.

Fenomena ini harus segera ditangani. Bukan hanya dengan menyalahkan platform digital atau kreator konten yang menyebarkan informasi tanpa dasar medis, tetapi dengan membangun sistem pendukung yang benar-benar bisa diakses oleh mahasiswa. Media sosial mungkin bukan alat yang sempurna, tetapi dengan pendekatan yang tepat, ia bisa menjadi bagian dari solusi, bukan penyebab masalah. Yang kita butuhkan adalah literasi digital yang lebih baik, di mana mahasiswa tidak hanya diajari cara menyaring informasi, tetapi juga diarahkan untuk mencari bantuan dari sumber yang kredibel.

Hingga saat itu terjadi, self-diagnosis akan tetap menjadi pisau bermata dua. Satu sisi terlihat seperti upaya mandiri yang proaktif, tetapi sisi lainnya menyembunyikan risiko yang sangat nyata, misal kecemasan, isolasi, kesalahan diagnosa, bahkan dalam beberapa kasus, berujung pada tragedi yang tragis.

Tragedi ini menyisakan pertanyaan besar. Dimanakah peran institusi pendidikan? Universitas, dengan segala fasilitasnya, sering kali gagal menyediakan dukungan mental yang memadai. Mungkin karena kesehatan mental tidak mendatangkan dana riset sebesar teknologi blockchain, atau mungkin karena stigma sosial yang masih melekat. Tapi mari kita renungi bersama, bukankah sudah saatnya kampus berhenti menjadi sekadar “pabrik ijazah” dan mulai mengambil tanggung jawab menjadi tempat yang benar-benar mendukung kesejahteraan mental mahasiswanya?

Kasus DRY adalah cerita yang sudah terlalu sering kita dengar, tetapi jarang kita pelajari. Ia bukan hanya korban dari tekanan akademik, tetapi juga dari isolasi sosial yang ironisnya justru diperparah oleh era digital. Pesan terakhirnya di WhatsApp adalah jeritan yang tidak dijawab oleh siapa pun. Sebuah tragedi yang seharusnya memaksa kita untuk bertanya, apakah kampus dan masyarakat benar-benar peduli, atau hanya sekadar mengucapkan “turut berduka cita”?

Institusi pendidikan perlu berbenah. Jangan biarkan layanan konseling hanya menjadi formalitas tanpa usaha nyata menjangkau mereka yang membutuhkan. Diperlukan pendekatan yang lebih aktif, edukasi yang membongkar stigma, dan kolaborasi yang melibatkan mahasiswa sebagai agen perubahan. Tapi semua ini hanya akan terjadi jika kita mau mengakui bahwa kesehatan mental adalah isu serius, bukan sekadar “pembahasan musiman” setelah tragedi.

Terakhir, bagi kita yang masih gemar menyerap informasi kesehatan mental dari video satu menit di TikTok, mungkin sudah saatnya berhenti sejenak dan bertanya, apakah kita sedang mencari solusi, atau hanya pengakuan?

 

 

Leave a comment