Menulis ulang sejarah bangsa bukanlah hal yang salah, selagi mampu menghadirkan perspektif yang lebih adil dan merangkul suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Menulis sejarah tidak semata untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk menggali dan meninjau kembali temuan-temuan yang dapat menjadi cermin perjalanan bangsa. Namun, menulis sejarah bukan perkara sepele, dan jelas tidak sama seperti membuat karangan bebas. Teks sejarah harus disusun berdasarkan pijakan yang kokoh, dengan metodologi yang sahih, melibatkan para ahli, dan terbuka terhadap beragam suara. Sebab sejarah bukan milik penguasa, bukan milik satu golongan, apalagi satu partai. Sejarah adalah milik kita semua, dari Sabang sampai Merauke.
Kementerian Kebudayaan saat ini sedang menggagas sebuah proyek besar: Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Ada 113 penulis, 20 editor jilid, dan 3 editor umum yang digandeng. Mereka berasal dari kalangan sejarawan, arkeolog, geografer, dan ilmuwan humaniora lain. Targetnya adalah untuk melengkapi sejarah yang selama ini mungkin bolong-bolong. Misalnya, masa setelah 1997 hingga hari ini yang belum banyak ditulis dalam buku-buku sejarah resmi. Niatnya bagus. Tapi seperti kata orang tua kita, niat baik saja tidak cukup. Caranya harus benar.
Masalahnya, proyek ini malah menimbulkan kecurigaan. Banyak pihak terutama aktivis dan sejarawan mengkritik cara pemerintah mengatur proyek ini. Bonnie Triyana, salah satu sejarawan sekaligus anggota DPR RI, dalam Webinar Nasional bersama GMNI FIB dan FKIP Unej menyebut bahwa proyek ini sejak awal sudah bermasalah secara prosedural. Wacana ini bukan proyek yang diinisiasi secara egaliter, transparan, atau inklusif. Penulisnya dipilih, diberi tema, lalu disuruh menulis sesuai tema itu. Sudah ada outline, sudah ada kerangka yang harus diikuti. Apa artinya? Artinya sejarah dan para penulisnya tengah menjadi kendaraan rezim penguasa untuk memenuhi kepentingannya.
Bayangkan, sejarah yang seharusnya lahir dari hasil riset, observasi, dan perdebatan para ahli, malah dijalankan seperti menulis pesanan. Tema sudah dikunci sebelum diskusi para penulis dimulai. Bagaimana kita tidak khawatir? Ya, hal ini jelas membuka celah legitimasi kekuasaan. Sejarah bisa disulap jadi alat propaganda. Kalau begini caranya, bisa-bisa sejarah kita nanti hanya jadi cerita yang enak didengar penguasa.
Padahal sejarah, mesti jujur apa adanya. Menulis yang manis, yang pahit, mencatat yang rusak, yang gagal, yang memalukan, bukan hanya yang membanggakan. Sejarah bukan iklan, bukan pula teks promosi untuk memperindah citra tokoh tertentu. Tapi sekarang sudah muncul kabar angin, ada peristiwa yang akan dihapus dalam penulisan ulang ini. Bonnie bilang, dalam konsep awal penulisan sejarah itu, tidak ada catatan soal Konferensi Asia-Afrika. Tak ada juga cerita tentang perdebatan di BPUPKI sampai 1 Juni. Masa Soekarno disebut masa gejolak dan ancaman disintegrasi, tapi masa Orde Baru justru ditulis dengan tone positif yang lebih besar.
Kalau begini, ini bukan lagi penulisan sejarah, melainkan hanya sebuah karya rekaan. Agaknya, penulisan ulang ini hanyalah media penataan narasi supaya tampak baik-baik saja. Padahal, tugas sejarah bukan menutupi aib, tapi merupakan akses supaya kita bisa belajar dari aib itu. Sejarah yang betul justru mencatat luka-luka bangsa supaya kita tidak mengulanginya lagi.
Lalu ada satu hal yang juga mengganjal, yaitu waktunya. Proyek ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus nanti, dengan 10 jilid buku sejarah. Sekali lagi, niatnya bagus. Tapi menulis sejarah bukan pekerjaan yang bisa dikebut seperti laporan tahunan. Kita bicara soal kerja ilmiah, soal menelusuri jejak, soal menimbang sumber. Kalau diburu waktu, apakah nanti cukup ruang untuk menampung semua peristiwa? Apakah cukup ruang untuk mendengar semua suara?
Pemerintah boleh saja mengklaim sudah melibatkan banyak ahli dari seluruh Indonesia. Tapi tetap, penulisan sejarah perlu waktu. Perlu jeda untuk berpikir, untuk berdebat, untuk memeriksa silang. Kalau buru-buru, yang lahir bisa-bisa hanya buku sejarah yang sudah dikemas rapi sesuai selera yang berkuasa. Publik pun patut bertanya, siapa yang sebenarnya mengendalikan proyek ini? Apakah proyek ini sungguh untuk rakyat? Atau untuk mempermanis wajah di cermin sejarah?
Saya kira, kita sudah punya cukup pengalaman soal sejarah yang ditulis untuk kepentingan kekuasaan. Sejarah yang diwarnai hegemoni, yang memoles masa lalu jadi tampak gemilang padahal penuh luka. Jangan kita ulang lagi. Jangan sampai sejarah Indonesia versi baru ini hanya menjadi alat pembenaran dan pembungkaman.
Sejarah bukan teks mati. Sejarah itu hidup, setiap generasi akan membaca dan menafsirkannya dan setiap generasi berhak mendapatkan cerita yang utuh. Pahit dan manisnya lengkap. Gagalnya dan berhasilnya seimbang. Hanya dengan begitu, sejarah bisa menjalankan fungsinya: membuat kita belajar, membuat kita lebih bijak.
Kalau pemerintah memang ingin menulis sejarah yang betul-betul sejarah rakyat, libatkan rakyat. Jangan hanya bikin outline di balik meja, lalu menyuruh sejarawan mengisi titik-titik kosongnya. Buka ruang partisipasi, adakan forum dengar pendapat, biarkan publik ikut mengawal prosesnya. Bentuk dewan penulis independen yang bisa bekerja tanpa takut intervensi.
Satu lagi, jangan buru-buru. Sejarah tidak lahir dari tenggat. Sejarah lahir dari ketelitian, dari keberanian, dan dari kejujuran. Kalau kita menulis sejarah dengan benar, kita tidak hanya menulis untuk hari ini. Kita menulis untuk anak cucu kita. Untuk mereka, sejarah itu cermin. Jangan biarkan cermin itu retak hanya karena ambisi dan kepentingan sesaat.