Menggurat Visi Kerakyatan

Seandainya Nenek di Negeri Komunis

358

Siang itu saya ngopi di warung Bulek. Ini siang yang terkesan sedikit cepat. Mungkin karena begitu tebalnya awan hitam melindungi atap rumah dari sinar mentari. Saya satu meja dengan empat orang teman. Setiap meja ada dua kursi panjang yang masing-masing muat diisi tiga orang. Kami berbincang tentang topik yang beragam.

Ketika empat kopi yang kami pesan hanya tersisa ampas. Datang seorang nenek tua mendekat kepada kami. Sambil mengulurkan tangannya dia meminta sedekah dari kami. Tanpa berpikir panjang beberapa orang dari kami memberinya. Sedangkan saya pun ikut merogoh kantong.

Sialnya uang saya tinggal dua ribu. Itupun untuk bayar kopi nanti. Kemudian saya ingin berbagi sedikit tentang nenek itu. Tentu saja dengan menyumbangkan pikiran. Saya berjanji akan menulis cerita tentang ini. Saat itu, tak ada yang saya punya untuk dibagi, selain tawa dan pikiran.

Setelah nenek itu pergi. Salah seorang teman saya bercerita. Ternyata nenek itu tinggal tak jauh dari sini. Parahnya lagi, nenek itu menghidupi lima cucu dari anaknya yang tak lama meninggal. Setelah teman saya bercerita. Kami hanya bisa diam. Dan mungkin berkhayal. Atau berimajinasi tepatnya. Tiba-tiba saya berimajinasi tentang suatu hal. Sistem perekonomian yang lebih muda dari pada Republik milik Plato. Sosialis.

Mungkin berawal dari keheranan yang berlebihan. Perihal beberapa negara yang sangat menginginkan sistem sosialis diterapkan, sebagai acuan jalannya perekonomian. Terlebih, mereka yang ingin menyusuri jembatan emas itu, demi sebuah tujuan yang murni. Negeri komunis.

Sebenarnya seperti apa gagasan ideal sistem tersebut. Hingga tak jarang untuk merealisasikan sistem itu memerlukan pengorbanan yang sangat lama. Tidak mengherankan jika sosialis partikular selalu menjadi sebuah ketakutan yang sangat besar. Bahkan akan selalu muncul pertentangan keras dari geng dogmatis islam, terkait sistem ini. Padahal jika mereka menyadari, jika islam telah merealisasikan sistem sosialis, semenjak tiga abad sebelum Karl Marx lahir, mungkin mereka akan malu. Ternyata islam itu cikal bakal komunis. Hah!

Saya pernah berpikir ulang. Bukankah sistem ekonomi sosialis telah lahir lama di sekitar kita. Misalkan saja di beberapa komunitas. Mereka bekerja atas dasar kolektivitas. Bahkan mereka sangat menghargai kebersamaan dalam kelas sosial. Tak ada jabatan tertentu yang membuat satu individu lebih agung daripada lainnya. Peran dan tanggung jawab menjadi milik bersama. Bukankah sudah banyak?

Jika dalam sistem kapitalisme, setiap individu harus berusaha memenuhi kehidupannya sendiri. Maka sosialis berlawanan dengan hal itu. Sosialis mengutamakan kebersamaan. Saling menolong untuk mencapai kesejahteraan bersama-sama. Identik sekali dengan apa yang Semaoen bilang, “Sama rata, sama rasa”. Atau “Satu untuk semua, semua untuk satu”.

Selain itu dalam sosialis, tak dikenal apa yang disebut dengan kepemilikan pribadi. Sehingga kekayaan material yang dimiliki masing-masing warga adalah sama. Bahkan sebidang tanah dimiliki dan dirawat secara kolektif. Secara bersama-sama tanah tersebut dikembangbiakkan. Misalnya dengan menjadikan tanah tersebut sebagai sawah, yang nantinya dirawat bersama. Ketika panen tiba, hasil tersebut dibagikan secara rata. Alat-alat produksi yang dimiliki secara bersama-sama akan menjadikan mudah untuk mengelola tanah tersebut. Dengan demikian warga tidak perlu menyewa traktor atau menyewa alat pemanen padi.

Segala macam alat produksi menjadi milik bersama. Pengelola diserahkan langsung kepada negara. Tak ada peran pihak swasta di sini. Sehingga ketika masyarakat ingin menggunakan alat produksi, maka mereka akan menggunakan secara gratis. Sedangkan kepala suku hanya bertugas mengawasi. Kepala suku?

Bisa dikatakan semacam itu, pemimpin pusat bukanlah seorang pe(me)rintah. Lebih jauh lagi mereka memaknainya sebagai pemimpin suku. Fidel Castro pernah bilang, kurang lebih seputar pengakuan atas dirinya, jika dia bukanlah pe(me)rintah, melainkan kepala suku.

Lantas apa bedanya? Wah, saya sendiri bukan pelajar yang fokus mengkaji masalah ini. Namun, jika asumsi sementara yang kalian inginkan. Mungkin kepala suku lebih dekat pada para anggota sukunya, daripada seorang presiden. Yang lebih kental lagi, seorang kepala suku akan terus berusaha mempertahankan budaya nenek moyangnya.

Di sisi lain, tak ada tekanan serius bagi pekerja di luar kemampuannya. Menurut Arief Budiman, apabila penekanan kapitalisme adalah setiap orang bekerja menurut kebutuhan pasar dan dibayar sesuai dengan prestisnya. Maka sosialisme mendasarkan diri pada, setiap orang bekerja menurut kemampuan dan dibayar menurut kebutuhannya.

Dalam hal ini, jika ada seorang nenek yang mempunyai kebutuhan tinggi untuk menyekolahkan kelima anaknya. Namun nenek tersebut tidak mampu bekerja terlalu berat. Maka, dia diperbolehkan untuk bekerja semampunya. Selain itu, akan mendapat upah kerja sesuai dengan berapa yang dia butuhkan. Bahkan upah nenek tersebut bisa lebih besar daripada seorang dokter yang hanya butuh untuk menghidupi dirinya sendiri, belum berkeluarga.

Nek, apa kita terlahir di negeri yang salah?

Leave a comment