Menggurat Visi Kerakyatan

Rapatkan Barisan, Lawan Pengekangan

529

Aliansi organisasi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya menyuarakan keresahannya. Berangkat dari masalah yang sama, pengalokasian dana untuk lomba dan pembatasan kegiatan.

Beberapa mahasiswa duduk bersama di samping kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UJ). 16 mahasiswa ini tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) di FIB UJ. Kamis malam, 19 Oktober 2017 mereka membahas mengenai pembatasan dana dan kegiatan organisasi mahasiswa (Ormawa).

“Kita akan membicarakan dua hal, yang pertama soal dana Ormawa, dan pemetaan kegiatan Ormawa,” Muhammad Riza Imaduddien, selaku Ketua Umum Swapenka membuka obrolan. Ia menceritakan mengenai pengajuan dana Buletin Suaka (Suara Kelestarian Alam). Namun Sunarlan S.S, M.Si., Wakil Dekan III tidak mengizinkan pencairan dana untuk Buletin Suaka.

Ngajuin pertama kali itu waktu Diklatsar (Pendidikan dan Latihan Dasar) dipotong dananya. Yang ngajuin dua juta, dipotong setengah,” kisah Imaduddien. Alasan pemotongan itu, agar dana bisa dialokasikan untuk kegiatan lain. Swapenka tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Sampai akhirnya, Sunarlan menolak penerbitan Buletin Suaka dengan alasan mengalokasikan dana untuk lomba.

Tidak ada peraturan tertulis mengenai alokasi dana untuk lomba. Imaduddien menganggap sistem pembagian dana tidak jelas. Pemberitahuan hanya sebatas peringatan lisan agar Ormawa memanfaatkan dana rutin untuk lomba. Program kerja (Proker) yang dirancang Ormawa tidak mendapat kepastian. “Itu kan gak tertulis, yang akhirnya Proker yang kita ajukan masih istilahnya pun kayak undian, siapa tahu dapat, siapa tahu enggak,” keluh Imaduddien.

Hal semacam ini juga terjadi pada Ormawa lain di FIB. Maka dari itu, aliansi mengadakan pertemuan untuk membahas dana dan pemetaan kegiatan Ormawa.

Terdapat sepuluh Ormawa di FIB. Masing-masing perwakilan dari Ormawa menghadiri forum. Perwakilan yang hadir, yaitu dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ideas, Dewan Kesenian Kampus (DKK), Swapenka, Pusat Olahraga Mahasiswa Sastra (Porsa), Lembaga Kerohanian Fakultas Sastra (Lekfas), Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah (BKMS), English Departement Student Assosiation (EDSA), dan Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia (Imasind). Sedangkan dua Ormawa lain tidak hadir, yaitu Paduan Suara Melodi Sastra (PSM) dan Himpunan Mahasiswa Televisi dan Film (Himafisi).

Seperti yang dialami oleh Porsa. David Tomi Anggara, Ketua Umum Porsa mengaku sudah beberapa kali mengajukan proposal kegiatan, seperti dies natalis dan workshop. Namun ditolak. Sunarlan tidak menyetujui kegiatan tersebut. “Sebaiknya ikut lomba-lomba aja,” kata David menirukan alasan yang diberikan oleh Sunarlan.

David merasa kesal. Ia merasa semua Proker yang diajukan menjadi sia-sia. “Segala macam proposal, segala macam Proker kita ajukan ke beliau. Beliau saja yang milih mana kiranya yang sesuai dengan visi misi dia. Kalau misalnya tidak ada, biar sudah bikin kegiatan sendiri,” tegas David.

Padahal menurut David, kegiatan workshop yang digagas Porsa tidak pernah dilaksanakan di UJ. “Itu belum pernah ada di UJ, yang ada itu baru di UNY dan UM Fakultas Ilmu Keolahragaan. Kan ini bisa jadi daya tarik baru,” terang David. Menurut David, kegiatan ini juga dapat mengenalkan nama FIB UJ pada banyak jaringan.

Iis Fitrianingsih, Ketua Umum BKMS mengisahkan hal yang cukup berbeda. Ketika BKMS mengajukan kegiatan dies natalis, Sunarlan juga menolaknya. “Di dalam dies natalies itu, ada berbagai macam acara. Yang inti itu diskusi umum, workshop dan bedah buku, ternyata tiga acara ini ditolak semua,” tukas Iis.

Iis berkali-kali memohon kepada Sunarlan untuk menandatangani proposal. “Saya mau melaksanakan kegiatan ini, tolong ditandatangani sekarang,” pinta Iis. Sunarlan tetap menolak pencairan dana. BKMS diminta mengikuti kegiatan lomba di luar kampus saja.

Selain melarang tiga kegiatan rutin BKMS, Sunarlan bahkan meminta agar diklat dilaksanakan di dalam kampus. Sunarlan menegaskan kepada Iis agar BKMS tidak perlu melaksanakan diklat di luar kampus.

Dalam forum, perwakilan HMJ sahut-menyahut mengenai diklat jurusan. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena bagi HMJ, diklat merupakan open reqruitment yang bertujuan untuk regenerasi pengurus dalam organisasinya. “Kegiatan BKMS ini sangat penting. Karena pada saat kegiatan, kita bisa melihat karakter dan cara kerja tiap anggota. Yang nantinya bakal mampu menggantikan pengurus sebelumnya,” ujar Iis.

Perwakilan Ormawa yang hadir malam itu merasa resah. Mereka saling menceritakan pembatasan kegiatan yang dialami organisasinya. Rupanya, hasil dari pertemuan tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki kesamaan nasib. Semua sepakat untuk membicarakan hal ini dengan pembina masing-masing. Lalu berencana mempertemukan Sunarlan bersama Ormawa FIB, pembina, Dekan dan Wakil Dekan II (WD II).

Pembagian dana kegiatan

Berawal dari sosialisasi pencairan dana tahun 2017 oleh WD III. Pada tanggal 3 Agustus 2017, Sunarlan menghimbau Ormawa FIB untuk segera mengajukan dana. Ia menyampaikannya melalui pertemuan di Ruang Sidang. Himbauan ini dibuat mengingat pada akhir tahun, Bagian Keuangan FIB akan segera melakukan tutup buku.

Ormawa mendapat dana kegiatan sebesar 7.500.000 rupiah pada tahun 2017. Namun dana tersebut tidak semua dapat dicairkan untuk kegiatan rutin Ormawa. Terdapat dua pembagian dana kegiatan, yang pertama dana kegiatan rutin, sedangkan yang kedua dana khusus untuk mengikuti kegiatan di luar kampus. Kegiatan luar kampus yang dimaksud adalah lomba atau kompetisi. Ormawa diminta mengikuti berbagai lomba pada bidang yang ditekuninya. Akomidasi dan biaya administrasi akan ditanggung melalui dana khusus tersebut. Kebijakan ini dibuat oleh Sunarlan selaku WD III.

Tidak ada sistem pembagian yang jelas antara dana lomba dan dana rutin Ormawa. “Karena memang gak tercantum dalam sistem,” terang Sunarlan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut.

data per 30 Oktober 2017

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar dana Ormawa dialokasikan untuk kegiatan lomba di luar kampus. Himafisi dan Porsa, hanya mendapat 2.500.000 untuk kegiatan rutinnya selama satu tahun. Jika hingga akhir November, Ormawa tidak mengusulkan dana untuk lomba, maka sisa uang akan dikembalikan ke kas negara.

“Pembagiannya terserah. Karena saya membayangkan biaya untuk keluar itu lebih banyak. Aku gak melarang, istilahnya kaku, pengajuan anggaranmu harus merasionalisasi,” kata Sunarlan. Ia tidak menetapkan pembagian dana untuk kegiatan rutin dan lomba. Sunarlan menyerahkan pembagian dana kepada Ormawa asalkan dengan rasionalisasi yang jelas.

Pencairan dana dilakukan dengan mengajukan proposal kegiatan. Prosedur pencairan dana baru bisa dilakukan, bila WD III menandatangani proposal kegiatan. Jika WD III tidak menandatangani, otomatis dana kegiatan tidak akan cair.

Pada masa jabatannya yang baru berjalan sekitar enam bulan, Sunarlan menginginkan agar Ormawa memiliki banyak prestasi dalam berbagai perlombaan. “Saya duduk di sini paling enggak satu bulan, dua bulan itu ngapain? Membenahi managemen, membenahi sistem itu. Sistem yang salah, misalnya yang acc (accepted) Wakil Dekan II. Ya salah!” tukas Sunarlan saat diwawancarai pada 13 Oktober 2017. Acc yang Sunarlan maksud adalah izin yang diberikan untuk melakukan pencairan dana.

Lek biyen Pak Wis? Mblayu ngadep WD II, gak wani,” kata Sunarlan. Pada periode kepengurusan dekanat sebelumnya, Drs. Wisasongko, MA selaku WD III, tidak memberi batasan alokasi dana Ormawa. Acc menjadi tanggung jawab WD II sepenuhnya.

Namun pada periode ini, Sunarlan ingin mengoptimalkan kegiatan Ormawa di luar kampus. Ia mengaku membuat kebijakan itu demi meningkatkan akreditasi FIB. Akreditasi FIB dinilai, salah satunya, melalui Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI). SKPI terhubung dengan sistem registrasi (Sister). Sehingga setiap prestasi Ormawa dan mahasiswa dapat terdata. Semakin banyak prestasi yang terdata, menambah kesempatan FIB untuk meningkatkan akreditasi.

“Tujuannya untuk mengisi SKPI, mengisi sistem itu. Saya harus mengisi dari mana dong? Lah ini dari dulu blank, kosong gak pernah diisi karena apa? Karena tidak punya basic dokumen. Mahasiswa tidak dibimbing, tidak diatur, tidak dikerahkan, alias liar!” keluh Sunarlan. Ia jengkel karena pada periode sebelumnya, prestasi Ormawa dan mahasiswa tidak terdata di Sister. Maka dari itu, Sunarlan mengalokasikan dana Ormawa menjadi dua, dana rutin dan dana khusus lomba.

Dra. Titik Maslikatin, M.Hum, WD II menjelaskan bahwa seharusnya pembagian dana rutin dan dana lomba Ormawa dilakukan tahun 2018. Untuk tahun ini, Ormawa bisa mencairkan dananya untuk kegiatan rutin yang sudah menjadi program kerjanya. “Ya kalau sudah diprogramkan bisa diajukan karena ini sudah mau akhir Bulan November. Sudah gak punya waktu lagi, dari pada uangnya dikembalikan ke negara.” Titik mengingatkan agar Ormawa segera mencairkan dananya. Bila sisa tidak segera dicairkan, dana tersebut akan dikembalikan ke kas negara.

Kegiatan Ormawa dianggap tumpang tindih

Selain memetakan anggaran dana Ormawa, Sunarlan juga memiliki program Ormawa profesional. Bila mahasiswa ingin menggeluti ranah jurnalistik, maka masuk LPM Ideas. Bila ingin mengadakan pentas teater atau kesenian lain, maka masuk DKK. “Itu yang saya maksudkan tumpang tindih. Di bidang jurnalistik itu, di mana? Ya LPMS. Kalau sejarah (BKMS) juga ada jurnalistik sejarah, aku yo bingung, sebenarnya yang diinginkan ini apa sih?” tanya Sunarlan.

Sunarlan ingin semua Ormawa fokus pada bidangnya masing-masing. Tidak perlu membuat Proker yang sudah ada di UKM atau HMJ lain. “Nanti kalau kemudian ini wes temen-temen paham, yang terbangun adalah Ormawa yang profesional. Yang profesional yang seperti apa? Ya yang sesuai dengan bidangnya,” jelas Sunarlan.

Salah satu Ormawa yang kegiatannya dianggap tumpang tindih adalah Teater Akbar Imasind. Sunarlan menganggap kegiatan teater hanya boleh dilaksanakan oleh DKK. DKK memiliki bidang seni pertunjukan yang juga menampilkan teater.

Namun Afif Risqiana, Sekretaris Umum Imasind menjelaskan bahwa Teater Akbar Imasind dan Teater DKK tidak dapat disamakan. “Punya warna seni yang berbeda misalnya teaternya. Imasind dengan DKK itu sangat berbeda. Nah di sini kami sempat menantang apa yang dibicarakan Pak Sunarlan,” Ia menganggap bahwa teater adalah ciri khas kegiatan Imasind selama ini.

Afifah mengisahkan tentang pencairan dana kegiatan Teater Akbar. Pengajuan dana ini tidak diizinkan oleh Sunarlan karena dianggap tumpang tindih. Begitu ditolak, Afif segera menghubungi pembina Imasind. “Pembina langsung bertindak saat tahu teater dan workshop ditolak. Pembina mengadu ke Bu Titik,” jelas Afif. Pembina Imasind menghubungi WD II melalui telepon.

Akhirnya WD II bertemu Sunarlan. Ketika tahu WD II mendatangi Sunarlan terkait masalah ini, Afif mengira kegiatan Imasind sudah bisa disetujui. Ia menemui Sunarlan lagi. Namun, Sunarlan tetap pada keputusannya. Teater ditolak.

Imasind tidak menyerah. Pembina Imasind langsung menghubungi Prof. Dr. Akhmad Sofyan, M.Hum., Dekan FIB. “Begitu dihadapkan dengan dekan, ya langsung selesai. Pak Narlan langsung menyetujui,” kisah Afif. Akhirnya seluruh dana Imasind dapat dicairkan setelah mendapat desakan dari Dekan.

Hal serupa juga dialami oleh Swapenka. Sunarlan melarang Swapenka menerbitkan Buletin Suaka. Sunarlan beralasan bahwa kegiatan jurnalistik sudah diwadahi oleh LPM Ideas.

Imaduddien tidak setuju. Ia berpendapat bahwa konten dalam Buletin Swapenka tidak bisa disamakan dengan produk LPM Ideas. “Jurnalistik di Swapenka dan di Ideas jelas berbeda. Swapenka kan lebih ke kelestarian alamnya,” ujar Imaduddien. Ia menganggap, jika Buletin Suaka tidak diterbitkan, maka Swapenka kehilangan ciri khasnya. Mahasiswa tidak bisa berkreasi secara bebas di organisasinya.

Imaduddien sangat menyayangkan kebijakan alokasi dana yang diputuskan secara sepihak oleh Sunarlan. Padahal Ormawa, termasuk Swapenka sudah merancang program kerja sedemikian rupa untuk kegiatan selama satu tahun. “Padahal Ormawa sudah mikir Proker matang-matang,” keluh Imaduddien.

Tindakan Sunarlan dirasa terlalu mencampuri Proker Ormawa. “Sangat intervensi untuk masalah program kerja dan untuk masalah keuangan,” tukas Imaduddien.

“Kalau memang ada kebijakan seperti itu ya tertulis, biar kita bisa memutuskan seperti apa. Kalau itu kan gak tertulis,” tambahnya. Imaduddien menyayangkan kebijakan yang dianggapnya kurang sistematis. Bila memang dana mahasiswa dianjurkan untuk lomba, seharusnya ada pembagian yang rata pada setiap UKM dan HMJ.

Ia juga tidak sepakat bila kegiatan Ormawa lebih ditekankan pada lomba. Mahasiswa yang tergabung dalam Ormawa menjalani proses kerja yang panjang. Proses ini yang menjadi pembelajaran untuk membentuk karakter setiap anggotanya. “Kita ini dibentuk bersosial, bagaimana ke masyarakat nantinya ke depan, bukan untuk bersaing terus-terusan,” jelas Imaduddien. Pola pikir yang terarah pada kompetisi, menurutnya, kurang baik bagi proses pembentukan karakter anggota organisasinya untuk lebih bertanggung jawab.

Pada tanggal 30 Oktober 2017, aliansi Ormawa membuat suatu kesepakatan. Mereka akan mempertemukan Sunarlan bersama Ormawa FIB, pembina, WD II, dan Dekan. Pertemuan ini akan diadakan pada Senin, 6 November 2017 di Home Theater FIB. Pembahasan utamanya adalah pembagian dana dan tumpang tindih kegiatan Ormawa.

Imaduddien berharap, melalui pertemuan ini, aliansi Ormawa dapat menyampaikan keluahannya kepada Sunarlan. Selama ini ia menganggap keputusan Sunarlan masih belum jelas. “Kalau misal belum jelas jangan terlalu cepat menerapkan suatu kebijakan yang belum ada proses berpikir panjang,” tuturnya.

Sedangkan David merasa bahwa jika kegiatan ormawa dibatasi, akan menimbulkan sekat-sekat di setiap ormawa. Sementara selama ini Ormawa di FIB saling mendukung kegiatannya satu sama lain. Tidak ada perselisihan antar ormawa hanya karena bidang kegiatan yang sama. Alasan tumpang tindih yang dilontarlan Sunarlan, mengusik Ormawa FIB.

Nah kalau ditumpang tidih kan berarti kayak gini, olahraga ke olahraga, teater ke teater. Berarti yang teater gak boleh ikut olahraga? Kalau yang dimau kayak gitu, berarti ini sudah dibuat sekat-sekat dong. Bukankah di sini kita ini membaur?” kata David. []

 

Penulis: Ulfa Masruroh, Dewi Diah Hardiati, dan Rosy Dewi Arianti Saptoyo.

Leave a comment