Menggurat Visi Kerakyatan

Puisi-puisi Halim Bahriz

706

Ritual Menghapus Ingatan

Hujan baru saja berjatuhan. Lumuran darah pada keris miliknya mulai mengelupas, melumer sampai genggam tangan yang masih mengerang. Jantung menyesap dingin. Seketika gigil mengobra-abrik seisi dada. Air mata dan lututnya lekas jatuh, melepas ciuman bibir Sritanjung dari telapak kakinya sendiri. Di tepi kali, lelaki itu mengejang dalam sesal: wangi yang dijanjikan memang datang, lesat runcing di udara, mengepungnya. Petir lalu berledakan, menyambari sudut-sudut langit. Angin membuat desah tarian membasah pada daun-daun, meresahi tubuh yang telah kuyup, merayakan dekap terakhir Sidopekso.

Lalu waktu mengalirkan wangi Sritanjung sampai jauh: berhulu dalam sorot mata seorang lelaki, bermuara pada segumpal janin dalam rahim perempuan. Dan matahari menebarnya di puncak gunung, hutan, ladang-ladang, semulai daun hingga akar. Angin meniupkannya sampai ke pelosok ingatan. ───Di bawah jingglang purnama, sesal Sidopekso terus didongengkan anak-anak mereka: panggung Jangger terus menggelar pesta ingatan tentang kesetiaan yang memayat dan kelahiran Banyuwangi.

Dari Ulu Pampang, VOC tiba-tiba datang membangun gerbang masa depan para penjajah, merampasi mimpi janin-janin, menanam ingatan baru pada tanah yang sama: bukit-bukit mulai ditumbuhi kopi, karet dan suara bedil. Sengau alarm pabrik-pabrik mempercepat pagi, melenyap lelap, membuat tangisan tubuh yang panjang, menghujan hingga berabad, menjelma keringat penyubur tanah yang telah diasingkan dari telapak kaki pribumi. Gunung lalu dilubangi. Jalan kereta lalu dibentang sejak Gumitir hingga Ketapang. Di sepanjang jalan itu, ingatan tentang Sritanjung makin hilang: dibawa lari kenyang yang pergi, diusir paksa lapar yang datang.

Di selepas kalah yang meringkus para penjajah, orang-orang bersibuk membangunkan lagi Blambangan yang tenggelam. Membuat ritual baru: penyematan nama-nama dari masa silam. Di sepanjang jalan kereta yang sama, nama Sritanjung dipanggili lagi, mengalir bersama serangkai gerbong yang melewatinya. Lalu mengingat, seperti menulis nama kelahiran pada batu nisan. Setiap orang yang memasuki gerbong itu menjelma mayat-mayat yang menerjuni liang lahatnya sendiri: Kereta Penghapus Ingatan! ───Kelak, saat Jangger sudah tak ada lagi: dalam kepala cucu-cucu kalian akan dibangun stasiun baru yang tak dicatatkan dalam peta. Serangkai gerbong akan datang dan serangkai gerbong akan pergi.

 

 

Kematian Kedua

Udara Alas Purwo telah disadap sinyal dari misteri lain. Kerinduan antara Angklung Paglak dan genggaman tangan, ──kesibukan jari-jari menapak keyword depan layar monitor yang memayatkan kaki-kakimu── telah dihitung dengan mata uang, seharga bensin, sejauh jarak untuk menemui masa lalumu sendiri: Blambangan masih rapuh, terbaring dalam ingatan para sepuh. Kericuhan antara sulur sampur para Seblang dan rapal mantra yang terseok di penjelang rasuk, juga telah selesai didamaikan bilas cahaya dari ledakan tombol shutter para wartawan. Dan sebuah makam megah tengah disiapkan: Tumpang Pitu akan digali, setelah kematian kedua untuk Blambangan yang kau bangunkan, telah selesai ditanda-tangani.

 

 

Gandrung Kepaten

Riwayat sawah pada tungkak dan jemari kakimu, telah diselubung kafan pemberian Londo. Getar pinggul, juga tarian tulang di punggungmu, membuka pesta lelang untuk bukit, gunung, mimpi-mimpi, juga udara yang menyusup ke dalam dadamu ───Jenggirat Tangi! Jenggirat Tangi! Pesta pun usai, dan siang panjangmu telah terbeli. Lalu matahari mulai diternak sepanjang malam, antara janin dalam setiap rahim dan jantung yang mengalirkan darah kepadanya.

Menjangan bertanduk kembang, canda sepasang kaki dalam kepungan cahaya yang menghapus bayangan dari tubuhnya sendiri, selepas lima jengkal dari birahi para tamu, sebelum lima jengkal dari masa depan yang akan terlambat kau sesalkan: senyum dan sorot matamu telah membuat pintu tanpa daun pintu. Lihat! sorot mata tuan-tuan di hadapanmu, begitu sibuk membuat daun pintu yang lupa kau persiapkan. Sungguhkah kau tak melihatnya? ───Gidrang tetabuhan dan gelepar sampur merah dari tanganmu telah membuat jalan tol untuk meranjangi bau vaginamu, membuat bahasa baru untuk janin dalam rahimmu. Oh! Betapa mesrah, gerah gairah pesta malam itu: perjamuan sorot mata kalian yang diam-diam menjalin kesepakatan lain.

Di penjelang picis yang berjatuhan ke dalam kutangmu, akan luput kau hitung harga nasibmu sendiri. Lidahmu terlanjur dijerat tanda tangan, diseret hingga lututmu terjatuh di hadapan Londo-Londo anyaran. Hingga akan kau dengar lagi, bengis tangis berabad yang dulu menenggelamkan Blambangan. ───Pada selembar kertas putih itu, tanah perkuburan untuk kelahiran cucu-cucumu luas terhampar. Seperti layar monitor yang mampu menampung seluruh masa depan manusia.

Sungguhkah tak kau dengar? Gemericik tubuhmu telah menuliskan bait-bait baru: riwayat tentang pemayatan yang selalu rahasia, gending-gending anyar yang selalu gagal kau nyanyikan. Dan tarianmu terus mengucap mantra tubuh pemanggil ajal, menjelmakan tubuhmu jadi liang lahat yang terlunta meminta kematianmu sendiri: Sritanjung anyaran! yang mengalirkan pekat bau karat di sepanjang arus sungai-sungaimu.

Gandrung Kepaten! Gandrung Kelalen! Gandrung Keluwen! Inilah perayaan besar itu: picis-picis dalam kutangmu akan dilemparkan ke udara, berlesatan merajami langit, membuat bunga api bermekaran, rimbun dalam kepalamu. Inilah upacara berkabung untuk kematianmu: carnaval yang merombengi pakaianmu, yang mengulari jalan-jalan di sepanjang kotamu. Inikah Blambangan yang kau bangunkan: peresmian bandara internasional yang membawa mayatmu sebagai undangan untuk pesta lelang selanjutnya, untuk kematian selanjutnya.

Dan saat bau tubuhmu tengah sibuk merambati kota-kota di seberang waktu, setelah kepulangan meledak tepat di depan rumahmu, dalam genggaman tanganmu sendiri, kau akan benar-benar tahu: segalanya memang terasa sia dan terlambat! Cerita kematianmu terlanjur dipahat! Air matamu terlanjur memadat! Jadi prasasti luka menubuh: wastuning catu kang jumeneng, yang tak akan mampu kau runtuhkan. Hanya masa lalu yang berkabung atas kematianmu: Gendhing Blambangan yang keram, ringkih tangis yang tak akan bisa kau dengar lagi. Gandrung Kepaten! Gandrung Kepaten! Gandrung Kepaten! ───Pintu itu, telah berdaun pintu, telah rekat terkunci dari dalam.

 

 

 

 

Halim Bahriz merupakan alumnus Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian (UKMK) Universitas Jember (UJ) dan pegiat Kelompok Belajar Tikungan. Hari-harinya sulit terlepas dari ritus berkesenian, dia menjadi sutradara dalam pementasan teater terakhirnya, Hipnotika.

Leave a comment