Permainan Lahir Paksa
“sebermula gerak ini, serupa kelahiran
yang dipaksakan,
dari sperma seorang asing. Dan setelahnya:
menebar janin pada rahim-rahim lain.”
hujan malam kemarin lebat sekali,
alun-alun Jember diguyur perjumpaan 80-an yang mendung.
Mencuat hasrat, bergegas ingin memiliki
janin yang (memang) dipaksakan,
dari permainan orang tua yang kelihatannya
kehilangan kenangan di masa kecilnya.
Lewat telepon yang salah sambung
Si sperma disuruh membuat janin
Lalu, pada sebuah sore yang kurang ajar
Lahbako menjadi bayi mungil
Yang dipaksa berlari, dibergegas mengejar lautan papuma yang telah diselubungi receh-receh.
Di sore yang lain. Seorang Jawa berlogat Madura melantunkan lagunya sendiri, ia duduk bergelantungan di ayunan akar pohon sepanjang Bedadung, hingga Balung.
“isuk-isuk jangano kelor, sekolah masuk ojo turu molor. Ibuk ngentasi godonge rokok, ayo podo kerjo, sak dhowone nyowo”.
Tak ada duga di sekitar pabrik-pabrik. Sebelumnya, beberapa- perempuan masih menjemur,
Masih melipat, mengolah, dan semua: biasa-biasa saja.
Di penghujung Puger, nelayan masih berlayar, mencari receh-receh di genangan air di malam hari, pulang pada gigil pagi. Mereka biasanya suka menyeruput kopi dan menelan tembakau di sela-sela ritual pencariannya. Dan pastinya, di penghujung lain juga sama: semua masih biasa-biasa saja.
“mungkin, ketika hujan lebat lagi,
bayi-bayi lain akan dipaksa dilahirkan (lagi).”
Di rumah lain, aku dengan aku yang ada di mataku melihat beberapa perempuan, menyetubuhi labako.
aku bertanya-tanya ketika tahu mereka sedikit yang asli. Ada Banyuwangi, Kediri, atau barangkali nanti, Australi!
Jika bayi diharapkan terlahir dengan harapan
Maka seharusnyalah bayi itu disebarkan di segala-
penghujung tanah dan air yang makin rapuh, ini.
Bisa saja, bila saatnya nanti, 14 atau 140 tahun lagi
Lahbako benar-benar menjadi tanda tubuh
Atau,
Terkubur dan hilang dari segala ingatan
Bersama mayatnya,
Pada kubur tak bernisan,
Tanpa jejak.
2014
Dhalung Dulang Dalang
“adakah kisah yang dapat diceritakan, apabila lembaran awal tak memiliki wajah?”
Aku lahir di sini,
Tertawa dan menangis di sini, bahkan-
Kemungkinan mati di sini!
Aku terbelalak, saat di sini ditelanjangi sampai keluar darah, bahkan-
tulang patah.
Di sini menjadi momok bagi aku yang di sini,
Ditelanjangi, diperkosa sampai mendesah tiada habis.
Bahkan aku yang di sini, seperti ditelanjangi pelan-pelan,
menaruh kepala pada rel kereta, lalu dilindas kereta,
Pada kecepatan slow motion.
Aku berblangkon disetubuhi clurit dan suka carok,
Lalu, persetubuhan itu : ada yang melahirkan dalang
Dan, setelahnya: dalang disuapi dengan persetubuhan pula.
Aku dan di sini
Seperti diletakkan pada ruang yang gelap
Usai ditelanjangi, aku mati sebelum mati
Juga di sini.
“apabila lembaran awal tak memiliki wajah, adakah kisah yang dapat diceritakan?”
Meditasi
; dari dhalung dulang dalang
Nanti,
Jika saya tidak menanti,
Saya ingin menelanjangi lagi tubuh saya sendiri.
Jember, 2014
Tentang Icha dan Asu
Aku mencintai kekasihku,
tidak seperti aku mencintai tanah kelahiranku.
Tanah kelahiran yang gagal aku kenali
Aku bertemu kekasihku,
tidak seperti aku bertemu tanah kematianku.
Pertemuan dengan tanah kematian tanpa rindu
Aku menunggu kekasihku,
tidak seperti aku menunggu tanah kerinduanku.
Rindu-rindu ditanam tidak untuk tanah kerinduanku
Aku membunuh kekasihku,
tidak seperti aku membunuh bangkai-bangkai di tanahku.
Pembunuhanku pada kekasih tidak untuk kematian, melainkan kesederhanaan
Mungkin, aku yang asu.
Jember, dua hari sebelum 19 kekasihku.
Ibnu Wicaksono. Pada hari lahir ke dua puluhnya, 6 Maret 2014 kemarin, Ia memutuskan untuk mencari lagi, sisa-sisa air mata yang masih berceceran di Jember, kota asalnya. Juga kampusnya Fakultas Sastra Universitas Jember. Dengan puisi, Ibnu masih berkenalan seperti perjumpaan awal manusia tak dekat. Bahkan, Ibnu seringkali berpikiran “apabila aku telah merampungkan sebuah puisi, sama saja seperti baru berkenalan dengannya”. Aktif di UKM Kesenian Universitas Jember dan dapat disapa melaluiwww.anandaibnuwicaksono.