Perjuangkan Keadilan, Rataratarantai Bentuk Aksi Berupa Panggung Milik Rakyat.
Pada Jumat (27/09) kumpulan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat sejember mengikuti aksi yang bertajuk Rataratarantai. Rataratarantai adalah wadah masyarakat untuk menyuarakan kegelisahannya untuk menolak beberapa RUU yang hendak disahkan oleh pemerintah. RUU tersebut diantaranya adalah RUU Pertanahan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Permasyarakatan (RUU PAS), dan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Rataratarantai dalam aksi ini berarti posisi yang merata dan ikatan yang berantai.
Pukul 16.00 WIB para peserta aksi mulai berkumpul di Seputaran Latar Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember. Dalam aksi tersebut terdapat panggung yang kemudian dinamakan panggung milik rakyat. Panggung tersebut memiliki fungsi untuk menyampaikan orasi, menampilkan puisi, musik, dan teater.
Pukul 16.30 WIB peserta aksi mulai menyanyikan lagu Indonesia Raya, disusul dengan lagu Ibu Pertiwi, dan Darah Juang. Peserta aksi membawa bendera merah putih dan berbagai tulisan yang berisi kata-kata sindiran untuk pemerintah.
Trisna Dwi Yuni Aresta selaku koordinator lapangan (korlap) mengemukakan bahwa ia ingin merancang aksi di pelataran gedung DPRD. Awalnya, DPRD menerima untuk melakukan aksi di halaman gedung. Namun, saat perizinan telah sampai pada sekretaris dewan, halaman DPRD tersebut malah diperuntukan sebagai lahan parkir bukan untuk tempat berlangsungnya aksi. “Jadi anggota dewan mengizinkan seperti ini parkir silakan di dalam. Bagi saya konyol, masa sepeda saya lebih diterima daripada saya, saya berbicara satire kepada mereka. Jangan sampai DPR di Jember menjadi Dewan Perparkiran Rakyat Daerah,” ujar Trisna.
Trisna juga mengatakan bahwa aksi ini bukan merupakan sambungan dari aksi-aksi sebelumnya. Walaupun secara tuntutan tetap sama dengan tuntutan yang dibawa oleh mahasiswa seluruh Indonesia. Adanya aksi ini adalah untuk mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat. Di dalam aksi ini juga tidak terdapat logo-logo organisasi apapun. “Jadi, aksi ini sengaja pure untuk masyarakat Jember atau masyarakat yang memang sadar,” tambah Trisna.
Dalam aksi ini juga terdapat banyak pegiat seni, salah satunya dari Ekspedisi Gelanggang. Ekspedisi Gelanggang merupakan komunitas teater yang ada di Jember. Hari itu Ekspedisi Gelanggang menampilkan sebuah pertunjukkan yang dimainkan oleh empat aktor. Selain itu, di sekitar tempat aksi juga terdapat banyak poster yang berisi kalimat menyindir pemerintah. “Bagi saya merupakan satire dan wujud dari demokrasi, karena ini adalah ruang publik,” ujar Trisna. Satire yang dimaksud Trisna adalah gaya bahasa yang diungkapkan sebagai bentuk sindiran kepada seseorang atau hal lain.
Di sana juga disediakan kertas dan spidol untuk dibagikan kepada peserta aksi. Peserta aksi bebas menuliskan pendapatnya tentang RUU ngawur yang hendak disahkan pemerintah. Setelah menuliskan pendapat mereka, peserta diarahkan untuk menggantungkan tulisan tersebut di tempat yang sudah disediakan.
Trisna juga mengungkapkan bahwa aparat keamanan sejauh ini masih bersifat kooperatif. “Mereka mengijinan dan ada beberapa polisi di depan lalu lintas untuk mengamankan jalan raya,” ungkap Trisna. Kooperatif yang dimaksud Trisna merupakan salah satu sifat yang menunjukkan kerja sama.
Trisna berharap bahwa dengan adanya aksi ini DPR Republik Indonesia seharusnya dapat bekerja sesuai dengan porsinya dan tidak terburu-buru dalam merevisi berbagai Undang-Undang yang hendak disahkan. “Bagi saya DPR RI itu seperti anak SMA yang kebut–kebutan mengerjakan PR. Di akhir masa jabatannya dia malah ingin segera kebut-kebutan untuk mengesahkan RUU,” ujar Trisna.
Muhammad Rofik merupakan pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jember sebelah timur. Ia mengaku mengetahui acara ini dari media sosial. “Saya mengetahui aksi ini dari instagram dan facebook,” ujarnya.
Rofik berharap bahwa RUU yang hendak disahkan seharusnya berpihak kepada rakyat. “Saya ingin menegakkan keadilan karena RUU ngawur tidak sesuai dengan masyarakat dan semoga DPRD bisa mengerti rakyatnya serta RUU dibatalkan,” ungkap Rofik. []
Penulis: Chyntia Ayu Ocvitasari
Editor: Warda Septi Ani