Menggurat Visi Kerakyatan

Keseharian dan Kesenian yang Menakutkan

Keterangan foto: Tiga aktor pertunjukan Gelisah menampilkan aksi gerak tubuh di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Jember, pada Senin 29 Februari 2016. (Foto: Ayu Tri Anita P)
648

Para buruh dan tani perlu ditakuti dengan senjata. Agar mereka patuh dengan semua tatanan bernegara yang diinginkan penguasa.

Pertunjukan Gelisah yang dimainkan komunitas Gelanggang pada Senin, 29 Februari lalu dibuka oleh seorang aktor, mesin gerinda tangan, suara bising, dan percikan kembang api. Lampu dibiarkan redup. Tiga orang aktor datang bergantian. Masing-masing membawa karung pasir, palu, dan arit.

Sebelumnya, saat penonton masuk ke gedung pertunjukan, ada sedikit hal yang berbeda dari kebanyakan pertunjukan teater. Jika biasanya gedung pertunjukan dibikin gelap, kemudian menyala saat pementasan dimulai, pertunjukan Gelisah menawarkan hal sebaliknya. Lampu gedung dibiarkan menyala, menyoroti area panggung dan penonton. Tim artistik sibuk mondar-mandir di pentas. Penata lampu masih memastikan tabung lampu panggung bisa menyala.

Sementara penonton dibiarkan melihat persiapan sebelum pementasan dimulai. Di titik ini, pertunjukan Gelisah bisa saja kita sebut gagal pada persiapan pentas. Apalagi sebelum pertunjukan, penonton yang berkerumun di depan pintu masuk dibiarkan menunggu sekitar satu jam dari jadwal awal. Meski beberapa aktor menyempatkan diri untuk menyapa satu per satu penonton dan menunggu di pintu masuk.

Mungkin Ahmad Siddiq Putra Yuda, sutradara pertunjukan Gelisah sengaja membuat pertunjukan sedikit molor, memberi jeda bagi penonton yang ingin segera melihat pertunjukan. Seperti usaha membuat penonton kaget karena begitu pintu dibuka, tim produksi masih sibuk menata panggung.

Tak jauh dari panggung, suara petikan gitar mengiringi pertunjukan. Diikuti suara vokal bersahutan secara pelan, kemudian riuh dan semakin keras. Seperti suara pembaca berita televisi dari saluran yang berbeda, atau barangkali lebih mirip Pidato Retak dari Sisir Tanah yang dimainkan Bagus Danto.

Para penonton bisa saja memahami pertunjukan Gelisah, sebagai miniatur kehidupan buruh dan petani di Indonesia yang belakangan mengalami benturan dengan polisi dan tentara. Misalnya di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah petani melakukan rangkaian aksi menolak pendirian pabrik semen, dan berkali-kali dihadang polisi.

Namun tafsir tidak berhenti pada satu titik atau peristiwa saja. Ia bisa saja menghasilkan makna baru. Jika di awal pertunjukan, para aktor menampilkan metafora petani, kuli bangunan, aparat bersenjata. Pada adegan berikutnya penonton seolah diajak menonton ulang adegan yang telah berlangsung. Bukan seperti dugaan awal saya bahwa pertunjukan akan menampilkan simbol-simbol yang merepresentasikan rendahnya harga jual beras bagi petani, atau ketimpangan antara rendahnya upah buruh dan tingginya jam kerja.

Para aktor mencoba menampilkan gerakan yang lebih sederhana. Seorang yang berdandan layaknya pasukan militer berjalan dengan tubuh tegap di panggung. Dua orang yang berdandan mirip kuli bangunan dan petani berjalan memanggul beberapa karung dan membawa palu.

Adegan semacam itu terus diulang di beberapa bagian. Seolah mengajak penonton melihat betapa kehidupan petani, buruh, dan militer pun adalah repetisi hidup yang sangat rentan kehilangan maknanya.

Pada titik ini mungkin sutradara pementasan Gelisah, nampak ingin menampilkan suatu protes yang elegan. Sebuah kritik atas kehidupan manusia modern yang kian hari semakin sibuk, hingga lupa memberi makna pada tiap gerak tubuhnya sendiri. Misalnya seorang kuli bangunan dalam sebuah proyek pembangunan gedung, atau buruh pabrik yang ditekan dengan jam kerja. Berlibur di hari Minggu, kemudian kembali bekerja esok harinya. Kemudian waktu seolah berlari kencang. Rutinitas atau keseharian kemudian menjadi rangkaian momen mistik yang ditinggal kesakralannya.

Sederhananya, seperti seorang yang memilih makan di restoran terkenal jika hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Padahal dengan makan nasi bungkus di warung pun bisa mengatasi kebutuhan naturalnya; rasa lapar.

Atau mari kita ambil contoh serupa. Misalnya alasan mengapa seorang mahasiswa harus hadir di ruang kuliah, minimal 75 persen selama satu semester. Kemudian terpaksa mendengar dialog searah yang disampaikan dosen. Sementara dalam jangka waktu yang sama, mahasiswa bisa menghabiskan waktu untuk membaca buku, terlibat dalam acara diskusi, atau aktivitas lain di luar jam kuliah yang mengasah nalar mahasiswa.

“Kita hidup, tapi mati,” kata Yuda. Ia merasa waktu terkadang datang tiba-tiba tanpa disadari. Sementara seseorang belum tentu sempat memikirkan apa yang akan dia lakukan pada waktu yang datang tiba-tiba itu.”Dalam ruang ini aku harus berbuat apa?”

Bila memang demikian motifnya, saya kira Yuda cukup berhasil menyampaikan kritik secara tersirat. Ia mengemas pementasan Gelisah menjadi pertunjukan minim dialog. Seperti hendak mengirim pesan tanpa harus mendikte penonton dengan dialog bernada retorik. Lantas penonton bebas mereproduksi makna dari konteks-konteks yang ada.

Tetapi saya bisa saja salah memaknai pementasan ini, memaknai keseharian. Terutama jika saya adalah seorang penonton yang sangat tekstual dalam memahami sebuah teater dan hal-hal di sekitarnya. Tak ada makna yang berkembang biak selain apa yang ditampilkan di panggung teater.

Seperti yang pernah terjadi di Fakultas Sastra Universitas Jember beberapa hari ini. Saat tiga orang mahasiswa melakukan aksi teatrikal di halaman kampus, kemudian disidang oleh pimpinan kampus. Karena teatrikal itu bermuatan kritik terhadap kebijakan pembangunan taman di kampus, yang ditangani pimpinan kampus dengan penuh jerih payah.

Saya sepakat jika pembangunan taman kampus adalah jerih payah pimpinan. Bahwa mengajukan dana pembangunan tak semudah membalik telapak tangan. Tetapi tak adil jika bentuk mahasiswa yang memprotes, berpikir kritis, dan melakukan teatrikal terhadap kebijakan kampus kemudian dihakimi. Apalagi dianggap tidak pro pembangunan dan ancaman bagi sistem pendidikan tinggi.

Penghakiman semacam itu tentu sangat dangkal, apalagi dalam konteks seni pertunjukan dan karya sastra. Orang-orang yang melakukan penghakiman dan klaim semacam itu barangkali gagal memahami sebuah seni pertunjukan yang multitafsir.

Memprotes Sistem

Andre Tanama, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pernah melakukan aksi berjalan di kampus hanya mengenakan topi ninja dan celana dalam. Bahkan ia berjalan masuk hingga ruang gedung dekanat dan rektorat.

Teatrikal yang ia beri nama Bau itu dilakukan saat ISI Yogyakarta menghelat Dies Natalis bertajuk “Implementasi Seni Berbasis Riset dan Teknologi”. Sementara Andre mengadakan acara serupa yang ia sebut Dies Mortalis, bertajuk “Fermentasi Seni Maling Berbasis Riset Mengincar Teknologi” untuk merayakan kematian kampusnya.

Aksi Andre merupakan sejarah baru dalam dunia pendidikan tinggi. Bahwa seorang dosen berani memprotes sistem dan kebijakan, dengan berjalan mengenakan celana dalam di kampus.

Pada titik ini, Andre mengajak semua orang menafsir kembali peran mahasiswa. Bahwa menjadi mahasiswa bukan hanya jadi pengikut kebijakan kampus atau ideologi tertentu. Namun melakukan segala hal dengan penuh kesadaran.

Bagi Andre ada banyak kebijakan yang dibuat sebagai respons terhadap pola pikir pimpinan kampus yang pragmatis. Misalnya yang belakangan kita dengar di Fakultas Sastra Universitas Jember, soal penggantian nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Hal itu adalah dampak dari mental pimpinan kampus yang lebih peduli terhadap pencitraan ketimbang pembangunan wacana pengetahuan di kampus. Di titik ini pola pikir para pejabat kampus nampak terlalu pragmatis dalam membuat kebijakan.

Misalnya kampus akan dengan sangat legowo kehilangan mahasiswa atau memberi sanksi drop out karena mahasiswanya tak kunjung lulus, ketimbang kehilangan satu buah komputer atau proyektor di ruang kuliah. Kemudian mahasiswa dilarang keras memakai sandal dan kaos oblong di lingkungan kampus, sementara pimpinan kampus dengan senang hati menerima tamu dari luar negeri yang datang ke kampus menggunakan celana pendek dan kaos oblong.

Apakah Andre diadili oleh rektor dan jajaran senat di kampusnya karena melakukan teatrikal, dengan hanya mengenakan celana dalam dan topi ninja? Tidak, tapi Andre bisa saja disidang dan dihakimi pimpinan kampus karena mengkritik agenda dan kebijakan kampus. Tentu saja jika dosen dan pimpinan kampus itu terlampau bebal dalam memahami tiap gagasan dan karya baru yang lahir merespons realitas di tengah masyarakat.

Mungkin saja saya sedikit tidak adil, membandingkan sebuah teatrikal di kampus ISI Yogyakarta dengan peristiwa serupa yang terjadi di Universitas Jember. Meski keduanya sama dalam hal institusi pendidikan, sebuah wadah besar yang didalamnya berlangsung transfer dan reproduksi pengetahuan.

Hanya saja, segala aturan, norma, prosedur, regulasi, keputusan pemerintah, jadwal kuliah, atau apapun itu memang telah ada. Lantas apakah kita meresponsnya dalam bentuk kepatuhan tanpa ada pemaknaan lebih dulu? Sehingga terjebak menjadi—yang disebut Martin Heidegger sebagai—manusia keseharian. Mungkin juga sebaliknya, mempertanyakan segalanya dan mencoba mencari makna dan memahami kembali sebuah gagasan atau kebijakan dengan nalar kritis.[]

Leave a comment