Menggurat Visi Kerakyatan

Intimidasi Terhadap Pers Mahasiswa di Jember Tambah Angka Kekerasan Jurnalis

“AJI Jember juga mencatat intimidasi terjadi terhadap pegiat pers mahasiswa yang menyuarakan kebebasan berpendapat mereka,”

391

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember melansir laporan berisi angka kekerasan terhadap jurnalis di wilayah Jember, Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso. Laporan itu menyebutkan bahwa ancaman dan intimidasi terhadap jurnalis masih cukup tinggi. Dalam rentang 3 Mei 2014-3 Mei 2015, AJI Jember mencatat sedikitnya ada empat kasus kekerasan menimpa jurnalis.

Bentuk ancaman dan intimidasi tidak hanya terjadi terhadap jurnalis yang bekerja di media arus utama. “AJI Jember juga mencatat intimidasi terjadi terhadap pegiat pers mahasiswa yang menyuarakan kebebasan berpendapat mereka,” tulis Sri Wahyunik, Sekretaris AJI Jember pada Minggu, 3 Mei 2015 dalam rilis yang diterima Ideas.id.

Salah satunya yakni intimidasi yang dilakukan Pembantu Dekan III (PD III) FS UJ, Drs. Wisasongko, MA terhadap salah satu anggota Lembaga Pers Mahasiswa Sastra (LPMS) Ideas, Universitas Jember, Rosy Dewi Arianti Saptoyo pada 1 Oktober 2014. Tak hanya diintimidasi, Rosy juga diancam beasiswanya akan dicabut bila mengkritiki kebijakan kampus.

Sebelumnya AJI Jember juga mencatat intervensi pemberitaan dari Pemerintah Banyuwangi kepada jurnalis dan redaksi media massa selama 2014. Sehingga pada 25 Juli 2014, anggota AJI Jember di Banyuwangi melakukan aksi untuk menolak berbagai intervensi tersebut.

Berikutnya, intimidasi yang dilakukan Kepala Desa Tanggul Kulon, Jember terhadap wartawan Tabloid Lintas Jatim saat meliput peritiswa kera liar pada 2 Maret 2015.

Menyusul kemudian, tiga jurnalis televisi diusir oleh Polsek Jatibanteng, Situbondo, saat meliput tentang nenek Asyani pada 17 Maret 2015.

Angka kekerasan tersebut turun dibandingkan periode sebelumnya (3 Mei 2013-3Mei 2014) yang mencapai 5 kasus. “Meskipun jumlah tersebut turun, bukan menjadi indikator kebebasan pers telah membaik,” tegasnya.

Sebab dilihat dari pelakunya, aparat negara tetap menjadi pelaku utama kekerasan. Padahal, mereka yang seharusnya lebih ‘melek’ terhadap UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang tersebut yang menjadi jaminan jurnalis dalam melakukan aktivitas jurnalistiknya.

Akhirnya, AJI Jember mendesak agar aparatur negara tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menjalankan proses hukum. Bertepatan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei 2015, AJI Jember mendesak:

1. Narasumber memakai cara yang telah diatur dalam UU Pers ketika tidak puas dengan pemberitaan, antara lain memakai hak jawab, koreksi, dan melapor ke Dewan Pers bukan dengan mengintervensi, mengintimidasi dan melapor ke polisi.

2. Pihak kepolisian memakai UU Pers ketika menangani kasus berkaitan dengan media dan pemberitaan.
3. Polisi tidak secara gampang menerapkan Pasal pencemaran nama baik atau UU ITE saat menerima laporan terkait kebebasan berekspresi atau berpendapat.

4. Kepada wartawan tetap mengedepan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan memahami UU Pers dalam bekerja.

“Semoga peringatan Hari Kemerdekaan Pers Internasional hari ini menjadi momentum untuk menjamin kemerdekaan pers sesungguhnya,” pungkas Wahyunik.

Leave a comment