Menggurat Visi Kerakyatan

Inikah Senjakala Sastrawan Kami?

Di balik cakrawala senja, nilai-nilai perlawanan akan terus bermunculan demi kesusastraan Indonesia.

548

“Dunia ini terobsesi dengan kesuksesan. Seolah kita harus berkorban untuk meraih itu. Pada Akhirnya kita ini hanyalah angka statistik…”

—Antonio Cassano

Saut Situmorang mungkin sudah siap dengan apa yang terjadi hari itu, Kamis, 26 Maret 2015. Ketika itu tiga orang polisi dari Polres Jakarta Timur datang ke rumahnya. Karena sebelunya sudah ada dua surat panggilan yang dikeluarkan oleh Polres Jakarta Timur, tapi tak digubris oleh Saut. Saut yang sedang dalam kondisi kurang istirahat pun berani menghadapi 3 polisi yang menjemput secara paksa.

Saut dan 3 polisi yang menjemputnya pun berangkat menuju Jakarta dengan disertai dukungan besar dari para sastrawan asal Yogyakarta.

Sepertinya saya tak perlu menjelaskan apa yang membuat adegan penjemputan paksa terhadap Saut saat itu harus terjadi. Sudah bertebaran berita di media cetak maupun media daring tentang perseteruan Fatin Hamama—yang menganggap dirinya sebagai sastrawan. Saut dilaporkan oleh Fatin karena dianggap telah melakukan pelecehan dan pencemaran nama baik dengan menyebut dirinya sebagai “bajingan” dan “lonte” dalam sebuah kiriman di sosial media Facebook.

Pemolisian Saut ini, menjadi polemik yang berkepanjangan. Mulai dari Saut yang diperiksa sebagai saksi, sampai Saut divonis sebagai tersangka. Di luar itu, berbagai kasak-kusuk bermunculan di media sosial. Ada yang membela Saut dan ada juga yang menyalahkan Saut. Tapi secara pribadi saya ada di golongan pertama. Secara sadar saya membela Saut, karena berbagai alasan dan kegelisahan yang muncul melihat polemik kesusastraan yang dikriminalisasikan.

Aksi “ANTI PEMBODOHAN BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH”, gerakan sastra yang menjadi salah satu simbol perlawanan atas politik sastra yang dilakukan kelompok Denny JA.

Fatin Hamama, seorang yang mendapuk dirinya sebagai sastrawan berani melapor ke polisi, hanya karena kalimat yang memuat kata “bajingan” dan “lonte” ditujukan padanya. Betapa tak berharganya hidup seorang sastrawan jika hal ini dicontoh oleh para sastrawan lain. Betapa cengeng dan pengecutnya Fatin sebagai seorang sastrawan, yang juga membidani lahirnya buku perusak sejarah sastra Indonesia; 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

Fatin Sebagai Sastrawan

Saya merasa Fatin Hamama tak pantas disebut sebagai seorang sastrawan. Pertama, karena dia memakai kekuatan kepolisian untuk menyelesaikan polemik kesusastraan. Kedua, karena setelah melakukan pencarian panjang, saya tak menemukan satu pun tulisan Fatin yang membalas kalimat dan berbagai tulisan yang dibuat oleh Saut tentangnya. Juga usahanya melahirkan pembodohan di dunia kesusastraan Indonesia.

Seharusnya sebelum menyebut dirinya sebagai sastrawan dan terjun ke dunia sastra, Fatin harus memahami bagaimana alur yang berjalan dalam dunia kesusastraan. Bagaimana kesusastraan Indonesia dibangun oleh konflik dan polemik yang adil oleh para pegiatnya. Seharusnya Fatin memahami bagaimana kerasnya hidup sebagai seorang sastrawan.

Hidup di dunia kesusastraan layaknya bertahan hidup di hutan belantara yang penuh dengan hewan buas. Harus selalu siap setiap saat jika bertemu dan diterkam binatang buas. Tapi apa yang dilakukan oleh Fatin ketika dia masuk dalam lingkaran kesusastraan? Menangis dan mengadu pada polisi. Fatin tidak siap diterkam. Fatin terlalu cengeng. Fatin kurang pintar untuk memahami bagaimana polemik kesusastraan harus diselesaikan dan Fatin juga terlalu pintar dalam hal adu-mengadukan kritik kesusastraan pada pihak kepolisisan.

Fatin, belajarlah sejarah dulu sebelum melakukan ini-itu.

Seorang sastrawan seharusnya faham bagaimana sebuah buah pikir harus dibalas dengan buah pikir lain. Ketika Saut melontarkan berbagai makian, tentu ada banyak alasan yang melatar belakanginya. Saya kira latar belakang Saut melontarkan kalimat “bajingan” dan “lonte” itu sangat jelas. Berbagai buah pikir Saut lewat berbagai tulisan tentang penyelewengan dan kebohongan yang dibuat Fatin dalam usahanya membantu lahirnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, sudah terlebih dahulu muncul sebelum kata ‘bajingan’ dan ‘lonte’ itu muncul.

Lantas kenapa Fatin tidak menanggapi tulisan itu dengan buah pikir sebagai seorang sastrawan? Barangkali ia tidak bisa menulis dan lebih mengandalkan uang sebagai penyelesaian.

Apa arti dari air mata yang Fatin keluarkan karena kasus yang ia buat sendiri. Mengais perhatian kah? Atau hanya kepura-puraan atas kemenangan semu yang  dirasakan karena telah berhasil membuat Saut jadi tersangka?

Puisi “Cintai Manusia Saja” dibacakan oleh Fatin Hamama pada Oktober 2015 lalu.

Airmata dan Kemenye-menyean

Saya kira Fatin terlalu cengeng, masa begitu saja sudah menangis. Ayu Utami dan Djenar Mahesa ayu saja tak pernah menangis dan melapor pada polisi karena tulisan yang dibuat oleh Saut dan para kawannya. Bahkan tulisan yang dibuat Saut untuk keduanya lebih keras daripada cuma kalimat yang memuat kata “bajingan” dan “lonte”.

Caci maki dalam dunia kesusastraan adalah hal yang tak perlu dilebih-lebihkan apalagi sampai dilaporkan ke pihak kepolisian. Caci Maki adalah hal yang lumrah dalam kaidah kesusastraan. Sejarah mencatat berbagai caci maki yang muncul dalam polemik di dunia kesusastraan; antara Rendra dan Darmanto Jatman, antara Chairil dan H.B. Jassin, antara Abdullah SP dan Hamka, antara buku Prahara Budaya dan Lekra Tak Membakar Buku. Sampai pada wilayah yang lebih besar, yaitu antar golongan Manikebu dan Lekra.

Berbagai kata yang mungkin dianggap kurang etis digunakan karena memuat cacian banyak bertebaran dalam polemik kesusastraan. Sejarah juga mencatat ada heboh sastra pada 1968 yang mengakibatkan H.B. Jassin harus keluar masuk pengadilan untuk membela seorang penulis, yang karyanya di muat di Majalah Sastra asuhan H.B. Jassin. Tapi kasus heboh sastra 1968 yang menyeret Kipandjikusmin sebagai penulis dan H.B. Jassin sebagai pengelola Majalah Sastra ke pengadilan tak semenye-menye kasus yang dibuat oleh Fatin.

Heboh sastra 1968 muncul karena cerpen Langit Makin Mendung, karya Kipandjikusmin memakai personifikasi Nabi Muhammad sebagai tokoh utama. Selain itu yang dipermasalahkan adalah penggambaran Tuhan dan kehidupan Nabi Muhammad yang dianggap menghina agama Islam.

Hamka yang kala itu menjabat sebagai Mentri Agama melaporkan Kipanjikusin dan H.B Jassin ke pengadilan. Ijinkan saya menyebut pengadilan saat itu sebagai pengadilan sastra. Karena pada saat itu, pengadilan yang menghadirkan H.B. Jassin sebagai saksi sekaligus tersangka dibuat selain untuk menuntut cerpen yang dianggap melecehkan agama Islam, juga untuk mendiskusikan cerpen karya Kipandjikusmin.

H.B. Jassin sebagai saksi dan tersangka dengan tegas dan jelas membuat sebuah pertanggung jawaban atas dimuatnya cerpen karya Kipandjikusmin di Majalah Sastra. Dalam tulisan pertanggung jawaban miliknya yang diterbitkan dengan judul Heboh Sastra 1968, Suatu Pertanggunganjawaban dengan jumlah halaman 81 halaman itu, Jassin mengajak para hakim termasuk Hamka sebagai penuntut untuk berpikir ulang, apa itu karya sastra dan bagaimana karya sastra harus dipahami. Jassin mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil imajinasi seorang pengarang dan bukan hal yang benar-benar terjadi.

“Dalam Kesubjektifannya, seniman tidak atau tidak selalu mengikuti gagasan-gagasan dan ilmu-ilmu pengetahuan yang telah tersedia menurut acuan-acuan. Seniman memungut pengetahuannya dari bacaan dan pengalaman dan dari bacaan dan pengalaman itu ia membangun dunianya, yaitu dunia artistik yang lain dari dunia objektif. Dengan demikian kenyataan artistik seorang seniman tidaklah identik saa dengan kenyataan objektif seorang ahli ilmu pengetahuan sepanjang orag bisa bicara tentang pengetahuan objektif, malahan bisa juga berlawanan sama sekali.” (Jassin 1970:74)

Seperti yang diungkapkan Jassin dalam pertanggung jawabannya sebagai pengelola Majalah Sastra, bahwa dunia kesusastraan tak bisa dengan langsung disangkutpautkan dengan berbagai hal substansial yang lain. Heboh kesusastraan punya wilayahnya sendiri, punya penyelesaian sendiri.

Tapi Fatin tidak mengamini apa yang diungkapkan Paus Sastra Indonesia saat itu. Fatin seperti tak melihat latar belakang mengapa Saut memakai kata “bajingan” dan “lonte”’ dalam kalimat yang ditujukan padanya. Fatin masih terkurung dalam kotak yang menganggap bahwa makian adalah hal yang tak baik bahkan menjadi sebuah kejahatan. Padahal letak polemik kesusastraan ada di luar kotak itu.

Fatin pun keluar dari konstelasi kesusastraan. Dia keluar kemudian menangis dan menganggap bahwa Saut telah melecehkannya sebagai seorang perempuan. Sekali lagi saya merasa Fatin sangat cengeng sebagai seorang sastrawan. Wadul sana sini dan tak berani melawan Saut dengan buah pemikirannya sendiri selayaknya seorang sastrawan. Pada akhirnya Saut pun berhasil dia laporkan dan dia jadikan tersangka dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Mungkin Fatin merasa dia sudah ada di atas angin dalam polemik ini. Mungkin dia sudah berada di atas angin jika dilihat sebagai hal yang substansial. Tapi di samping itu perlawanan yang sangat besar akan terus merongrongnya, karena latar belakang kasus ini adalah latar belakang kesusastraan Indonesia.

Saut adalah antihero. Apa yang dilakukan Saut, di luar kata “bajingan” dan “Lonte” yang dia tujukan untuk Fatin, adalah sebuah perjuangan untuk kehidupan kesusastraan Indonesia. Perjuangan untuk melawan pembodohan dan pemelintiran sejarah sastra yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Perjuangan melawan orang-orang yang mengejar ketenaran secara instan menggunakan uang dalam kesusastraan Indonesia. Melawan sosok Denny JA, superhero dan pelopor Indonesia Anti Diskriminasi. Seorang yang ingin disebut sebagai sastrawan berpengaruh dan seorang yang tentunya berdiri bersama Fatin Hamama.

Maka kriminalisasi terhadap Saut saya rasa adalah guyonan yang dilakukan oleh Fatin. Karena konstelasi kesusastraan Indonesia tidak seperti yang mungkin Fatin bayangkan. Dukungan untuk Saut akan terus berunculan tanpa memikirkan tentang kemenangan dan kekalahan.

Seperti kata Wiji Thukul, “Sebab menang dan kalah hanyalah mimpi-mimpi, mimpi-mimpi muncul dari sebuah keinginan // Keinginan hanyalah sebuah khayalan , yang akan melahirkan harta dan kekuasaan.” Karena perjuangan melawan pembodohan dalam kesusastraan Indonesia yang dilakukan oleh harta dan kekuasaan adalah sebuah kewajiban. Maka dengan sadar saya juga akan menolak kecengengan dan kepengecutan Fatin dalam menghadapi polemik ini. Karena dunia sastra tak secengeng apa yang tergambar dalam diri Fatin hamama sebagai seorang yang menganggap dirinya seorang sastrawan.

Sedikit menyitir Bre Rendana, “Inikah senjakala sastrawan kami.” Saya rasa tidak. Sekedar mengingatkan para juragan sastra seperti Denny JA, bahwa di balik cakrawala senja, nilai-nilai perlawanan akan terus bermunculan demi kesusastraan Indonesia.[]

 

Dukungan untuk Saut Situmorang di linimasa Twitter.

Leave a comment