Penyakit kuning merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus hepatitis. Penyakit ini banyak menyerang mahasiswa Universitas Jember (UJ) dalam dua bulan terakhir. Banyak faktor penyebab penyakit hepatitis. Dalam baliho yang terpampang di beberapa sudut UJ, terdapat enam cara pencegahan yang dipaparkan dan disingkat KUNING. Tiga diantaranya yakni kurangi jajan sembarangan, upayakan cuci peralatan makan dan minum dengan sabun dan air yang mengalir, serta niatkan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan.
Hal ini bertolak belakang dengan keadaan pedagang kaki lima yang terdapat di sekitar kampus. Pedagang tersebut biasa membuka lapak di daerah Jalan Jawa dan Jalan Kalimantan. Mereka berjualan di trotoar, air yang digunakan untuk mencuci tidak mengalir. Mereka biasa menggunakan air dalam timba untuk mencuci sendok dan gelas. Hal ini diperkuat dengan banyaknya korban dari kalangan mahasiswa. Terjadi pro kontra dengan penyebaran isu tersebut. Baik dari mahasiswa, pedagang, bahkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.
Isu hepatitis kurangi omzet pedagang kaki lima
Penyakit hepatitis ini adalah penyakit yang selalu ada setiap tahun. Biasanya virus hepatitis mudah tersebar saat musim penghujan. “Apalagi musim-musim hujan seperti sekarang dek,” kata Iim Fahmi Ilman staff Humas UJ. Kabar yang kian marak terdengar dua bulan terakhir terkait wabah penyakit di UJ.
Dalam dua bulan terakhir, Unit Medical Centre (UMC) UJ mencatat ada 24 mahasiswa yang terjangkit virus hepatitis. Pasien terbanyak berasal dari fakultas teknik. “Laporan dari dekan fakultas teknik ada beberapa mahasiswanya yang banyak terkena hepatitis”, tukas Iim.
Berdasarkan laporan dari UMC tersebut, pihak UJ meluncurkan baliho tentang pencegahan hepatitis di beberapa sudut UJ. Pemasangan baliho itu ada di depan pintu masuk utama UJ, pintu keluar dekat Fakultas Ekonomi dan pintu keluar Fakultas Kedokteran. Dengan adanya baliho tersebut, pedangan merasa resah. Dagangan mereka terancam sepi dan menurunkan penghasilan mereka. Salah satunya Anik, seorang pedagang kaki lima di Jalan Jawa. “Ibu ada itu (baliho) drastis turun, sudah lebih satu bulan. Langganan ibu sudah jarang kesini,” paparnya.
Ia juga mengaku omzet penjualan turun drastis setelah adanya baliho tersebut. “Ibu itu biasanya ga pernah dapat Rp. 500.000, sekarang mau angkat ke Rp.600.000 susahnya setengah mati,” ungkap Anik.
Anik merasa berita tersebut hanya permainan politik atas dasar rasa iri hati orang lain terhadap pedagang kaki lima di Jalan Jawa . Ia takut suatu saat lapaknya akan digusur jika berita itu terus tersebar, padahal ia selalu menjaga kebersihan pada makanannya. “Orang mah seenaknya ngasi omongan ini-itu, gak ada kasihan sama pedagangnya,” tukasnya. Anik juga menyarankan agar pembeli tidak serta-merta percaya dengan kabar bahwa pedagang kaki lima di Jalan Jawa adalah penyebab utama penyebaran virus hepatitis. “Dilihat dari situasinya, anak itu sakit apa karena kelelahan, apa karena makanan. Kalau ada orang yang bilang dari pedagang itu dilihat dulu Nduk, dilihat dari kebersihan pedagangnya,” lanjutnya.
Bukan hanya Anik yang merasa dirugikan. Abdul Halim, penjual nasi ayam krispi juga merasa terbebani karena tuduhan penyebaran virus hepatitis. Dagangannya menjadi sepi, padahal sebelum ada, warung Abdul selalu ramai dikunjungi pembeli. “Gak semua pedagang Jalan Jawa kotor, tergantung pedagangnya. Gara-gara kabar itu semakin agak sepi, ngaruh banget Mbak berita itu,” tukas Abdul.
Solusi preventif dari pihak UJ dirasa kurang memadai
Anik menyatakan bahwa ia pernah mendapatkan undangan penyuluhan virus hepatitis yang diantar oleh mahasiswa langganannya. Penyuluhan yang diberikan yakni seputar kebersihan dagangan disertai dengan promosi produk pemutih dengan tambahan bahan desinfektan untuk dicampurkan pada sabun cucian alat makan agar lebih bersih. Namun surat tersebut hanya diberikan kepada sebagian pedagang saja. “Dapat undangan di SMP 3 tentang penyuluhan, tapi gak semua. Disini ibu yang dapat,” tukas Anik.
Tidak ada inspeksi khusus pada kandungan virus pada makanan dan air yang dipakai pedagang kaki lima. Namun Anik tidak takut jika suatu saat Dinas Kesehatan Kabupaten Jember benar-benar akan melakukan pemeriksaan. “Iya silakan kalau mau diperiksa, ibu lho gak pakai formalin,” ungkap Anik.
Anik beranggapan bahwa virus hepatitis tidak selalu tersebar melalui makanan yang kurang bersih, akan tetapi bisa disebabkan oleh daya tahan tubuh mahasiswa yang menurun. “Kalau menurutku mahasiswa kebanyakan begadang, banyak tugas dan makannya telat. Sekali makan, makan yang pedes-pedes,” tutur Anik.
Pedagang kaki lima berharap ada tindakan dari pihak perguruan tinggi untuk memberikan lahan yang tepat bagi pedagang kaki lima. Selain menguntungkan pedagang kaki lima sendiri, mahasiswa juga tidak kerepotan membeli makan. “Seharusnya kan UJ punya cara lain. Di dalam UJ kan banyak lahan kosong, dibuat pertokoan, PKL pasti mau meskipun membayar. UJ dapat untung, mahasiswanya juga enak, daripada disini, makan marka jalan, trotoar, kan gak enak, ” tutur Anik.
Hal ini dibenarkan oleh Yumarlis saat ditemui di kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Yumarlis menjelaskan bahwa penyakit Hepatitis A tersebar melalui lubang pada tubuh manusia. Virus tersebut terdapat pada kotoran manusia, baik tinja, urin, dan air liur. Orang yang terjangkit virus Hepatitis A dapat menularkan pada orang lain. Dengan kata lain orang yang memiliki virus hepatitis A dapat bertahan dengan kondisi tubuh yang fit, sedangkan orang yang memiliki daya tahan tubuh yang kurang akan tertular virus tersebut. Tidak menutup kemungkinan bahwa virus hepatitis dapat menyebar melalui peralatan makan yang digunakan kurang bersih, dalam artian tidak dicuci dengan sabun.
Hal ini berkaitan dengan sanitasi air bersih yang terdapat di lingkungan pedagang kaki lima. Air bersih yang dimaksudkan adalah air yang mengalir. Mereka hanya berbekal dua ember air untuk mencuci peralatan makan yang digunakan saat memulai berjualan hingga tutup. Tidak ada saluran air untuk menjaga kebersihan penjualan makanan di Jalan Jawa.
Setiap Jumat, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember Kabupaten Jember kerap mendatangi pedagang kaki lima di Jalan Jawa untuk melakukan penyuluhan. “Itu kan jenis-jenis inspeksi kita untuk memberi informasi kepada masyarakat, bahwa sedang merebak kasus hepatitis A,” ungkap Yumarlis, Kepala Humas Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Inspeksi tersebut hanya berupa penyuluhan, tidak ada pengambilan sampel secara langsung untuk memeriksa makanan yang dijual pedagang kaki lima.
Sejalan dengan pedangang kali lima dan mahasiswa, Yumarlis juga menegaskan bahwa seharusnya UJ mau bertindak dalam menangani kasus ini. Mengingat korban yang terjangkit virus Hepatitis ini didominasi oleh kalangan mahasiswa, hal ini tentu menjadi tanggung jawab UJ untuk menanganinya. “Mulai dari mereka baru masuk itu dibekali dulu, ini lho penyebab penyakit hepatitis, hati-hati kalau memilih makanan, informasi-informasi seperti itu harusnya,” tukas Yumarlis. Yumarlis menjelaskan, bahwa seharusnya pihak UJ mau memberikan sosialisasi kepada mahasiswa dan pedagang kaki lima terkait dengan menjaga kebersihan makanan yang akan dikonsumsi.
“Pedagang itu dibina, dibuat organisasi, difasilitasi, libatkan ilmu sosial, libatkan fakultas hukum dari aspek hukumnya, libatkan jurusan budaya, bagaimana aspek budayanya masyarakat itu. Terintegrasi gitu,” tambah Yumarlis.
Mahasiswa juga menentang tuduhan penyebaran virus hepatitis oleh pedagang kaki lima. Salah satunya yakni Riyan Badi Darival, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UJ. “Isu itu tidak benar, karena tidak semua penderita hepatitis itu penyebabnya dari sana (pedagang kaki lima). Hepatitis itu efeknya gak langsung, misal kita makan sesuatu, gak bakal langsung kena hepatitis,” jelas Riyan.
Bukan hanya pedagang, mahasiswa pun juga berharap dengan penyakit yang mewabah tersebut, pihak UJ dapat memberikan pencegahan yang lebih memadai bagi semua kalangan. Sebagai mahasiswa, Riyan merasa kasihan dengan pedagang kaki lima yang mengalami tuduhan demikian. Ia menyarankan agar pihak perguruan tinggi memberikan penyuluhan ataupun pemberian tempat pada mereka agar lebih higienis. “Kasihan lah Mbak, mereka kan mencari nafkah. Ya seharusnya perlu diteliti terlebih dahulu, apakah benar itu faktornya dari sana,” jelas Riyan. []
Penulis :
Dewi Diah Hardiati
Lailis Saidatul Faizah