Menggurat Visi Kerakyatan

Diskusi Dongeng, Ajak Mahasiswa Mengubah Dongeng dengan Melihat Realitas

2,600

Rabu (28/9), gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Jember (UJ) diramaikan dengan kegiatan seputar dongeng oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian. Diawali pagi hari dengan lomba mendongeng tingkat SD, launching buku dongeng dan diskusi dongeng pada malam hari. Diskusi dongeng dimulai dari jam 19.00 WIB dengan menghadirkan dua pemateri. Diskusi ini bertema “Mengenal Dongeng dan Dunia Anak”.

Pada diskusi dongeng kali ini, empat orang yang terdiri atas moderator, ketua panitia dan dua pemateri.

Pemateri pertama yakni Wahyu Dia Laksmi, salah satu dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Muhammadiyah Jember, dan pemateri kedua yakni Muhammad Barit Sadan yang kerap disapa Bung Farid, seorang seniman sekaligus pendiri Yayasan Sukma Elang di Sumbercandik Jember dan Sekolah Kaki Gunung di desa Panduman Jember. Panitia memilih kedua pemateri ini karena keduanya memiliki keterikatan dengan tema yang diambil dalam diskusi ini.

Sebelum pemateri memberikan pandangannya tentang dongeng secara bergantian. Ketua panitia mengawali dengan pemaparan tentang proses kreatif dari buku antologi cerita anak. (Baca juga : Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Selenggarakan Acara Dolanan Dongeng)

“Berbicara tentang dongeng, tidak mungkin audiensi dongeng itu anak muda, tetapi anak usia dini. Mengapa anak usia dini disebut dengan golden age?”, tanya Wahyu sebagai pembuka pemaparan diskusi.

Wahyu mengungkapkan bahwa pada usia baru lahir hingga mencapai usia delapan tahun, perkembangan otak anak sama dengan 80% otak orang dewasa. Itu sebabnya pada usia tersebut, saatnya untuk menanamkan nilai-nilai moral meski melalui hal konkret dalam kesehariannya. Oleh sebab itu, dongeng menjadi salah satu alternatif yang baik dalam pembelajaran anak usia dini. “Pada usia itu, anak berpikir konkret, yakni belajar sesuatu dari yang ia pahami”, tutur Wahyu.

Dilanjutkan dengan pemaparan pemateri kedua mengenai dolanan dongeng. Barid mengungkapkan bahwa dongeng erat hubungannya dengan anak-anak, dalam hal ini pendongeng dilarang untuk menjadikan anak sebagai objek dari impian pendongeng. Karena dari anak-anak itulah, generasi emas dan pembaharu dapat dilahirkan. “Anak-anak adalah tuan kita, karena mereka adalah masa depan yang lahir dari diri kita”, ujar Barid.

Dongeng menghadirkan berbagai muatan didalamnya, baik itu provokasi, akomodasi, maupun sugesti. Mendongeng bukan hanya dimulai dari sejak lahir, tapi berawal dari dalam kandungan , karena manusia pada dasarnya memiliki tiga benih kehidupan yakni pendengaran, penglihatan dan hati. Pendengaran sudah ada sejak ruh telah masuk dalam sajad, kemudian anak lahir dan dimulailah kedua benih yang lain. Dalam tahap kehamilan itulah, peran dongeng juga sangat diperlukan dalam menyampaikan pesan yang baik kepada janin. “Dongeng menjadi sarana untuk menyampaikan pesan yang bermuatan kebaikan”, lanjur Barid.

Setelah panjang lebar memaparkan pendapat, Barid mengakhiri dengan membacakan sebuah puisi tentang ombak.

Setelah kedua pemateri selesai memberikan pendapat, moderator membuka sesi tanya jawab. Ada dua peserta yang mengajukan pertanyaan.

Penanya pertama diawali oleh Rudox Sitompul yang menanyakan tentang cara mengatasi kesenjangan antara realitas sosial dengan keinginan untuk menghidupkan kembali negeri dongeng pada dewasa ini.

Wahyu menjawab bahwa cara yang tepat untuk menghidupkan kembali cerita dongeng yakni dengan menawarkan kreativitas diri khususnya bagi UKM untuk berbagi pada masyarakat. Kegiatan itu bisa berupa pendirian program mendongeng  di tempat umum. Dengan begitu, seni akan tertularkan pada mereka.

Dilanjut dengan pertanyaan kedua dari Meriardy Wiranata Subroto yang masih ragu dengan hadirnya dongeng dalam membentuk kepribadian anak. Ia menanyakan tentang fakta konkret pembentukan perilaku anak melalui media dongeng.

Barid dengan sedikit tertawa, menjawab pertanyaan Meriardy. Ia mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua cerita dongeng bertujuan untuk menyampaikan pesan moral kepada anak. Namun, jika hasilnya justru terbalik, maka itu adalah sebuah penyimpangan. Jadi harus ada sikap waspada dalam memilih dan membuat dongeng.”Memang harus hati-hati, karena pesan itu harus jelas dan sesuai,” jawab Barid. []

Leave a comment