Menggurat Visi Kerakyatan

Asmarandana dan Dua Penyair yang Berbeda

1,161

Saya bukanlah seseorang yang pintar dalam berpuisi, apalagi untuk menafsirkan apa arti dari sebuah puisi. Tapi saya agak gelisah ketika Halim Bahris mentag saya dalam kirimannya di Facebook, dan isi dari kirimannya adalah sebuah puisi berjudul Asmarandana.

Belum sempat untuk membuka blog Halim saya langsung teringat kepada seorang penyair yang tidak pernah membacakan puisinya, yaitu Goenawan Mohamad. Seingat saya sudah lama sekali saya membaca sajak Goenawan yang berjudul Asmarandana di blognya, dan saya juga masih ingat ada semacam penjelasan dari Goenawan di akhir puisinya itu.

“…’Asmaradana’ ini berdasar sebuah opera Jawa, (yang mengisahkan) tentang Damarwulan, yang salah satu bagiannya, dalam bentuk tembang asmaradana. (Kisah ini) sangat bagus bagi saya. Damarwulan mengucapkan selamat tinggal pada Anjasmara, kekasihnya, karena dia mau berangkat perang dan dia tahu akan kalah. Saya bertolak dari sana. Dan kemudian sajak ini berkembang sendiri, tentu saja. Tentang perpisahan, tentang kefanaan, dan tentang –barangkali– persiapan kita menghadapi semuanya.” 

Setelah mengingat semua mengenai Asmarandana milik Goenawan saya langsung saja membuka blog Halim dan tidak lupa juga membuka blog Goenawan. Saya baca dan saya cermati kedua sajak dengan judul yang sama itu. Ada yang berbeda dan ada yang sama persis. Entah Halim bisa di sebut menyadur atau tidak, tentunya saya tidak tahu.

Saya terlebih dahulu membaca lagi Asmarandana milik Goenawan, dan saya selau merasa ada unstr epic yang kental dalam membaca puisi Goenawan. Dan inilah Asmarandana milik Goenawan:

Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning.

Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh.

Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpis`han itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,

ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

Beberapa puisi Goenawan yang pernah saya baca adalah puisi yang mengandung unsur sejarah dan beberapa lagi cerita pewayangan seperti Gandari dan Dongeng Sebelum Tidur. Goenawan dalam puisinya tidak menggunakan aku lirik sebagai seorang yang mengalami hal itu, tapi si aku lirik dalam Asmarandana milik Goenawan ini sebagi seorang yang melihat kegelisahan antara Anjasmara dan Damarwulan yang akan berpisah, itu terlihat dari bait pertama pada baris terakhir “Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.” Baris itu menunjukan bahwa aku lirik melihat bahwa ada suasana sunyi diantara Ajasmara dan Damarwulan.

Aku lirik tak terlihat lagi sebagai orang yang melihat dan menceritakan kembali pada bait terakhir, karena menurut saya aku lirik pada bait terakhir mencoba memunculkan percakapan antara Damarwulan dan Anjasmara.

Asmarandana milik Goenawan memang sebuah puisi yang kental dengan cerita pewayangan, tapi bagaimana dengan Asmarandana milik Halim ? Saya kemudian langsung membaca Asmarandana milik Halim dengan seksama, walaupun nantinya saya kurang mengerti apa yang ingin diungkapkan halim dalam puisinya itu.

Ini adalah Asmarandana milik Halim:

ASMARADANA

: Dari GM Bukan Untuk GM

_Ia dengar ringkih jangkrik dan tarian angin meresahi
daun-daun yang dingin, yang diguyur hujan tak berkesudahan.
Ia dengar tong sampah yg terguling, ngiau kucing, sengau
dari keran yang tak sempurna dimatikan. Ketika denyut
jantung berdegup dari bangkai waktu
yang telah dikerumuni dendam. Tapi,
diantara mereka berdua, saling bertukar desah
lewat telinga masing-masing.

_Ia ucapkan pengusiran itu,  ketegaan itu. Ia melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang
tak semuanya disebutkan,
lalu Ia membuka pintu.

_Ia tahu perempuan itu akan lebih cepat berjalan.
Sebab esok pagi, bila pada rumput halaman
ada tapak yang menjauh ke utara,
Ia takkan menyampaikan penyesalan menjadi maaf.
Sejak itu, Ia tutup lagi pintu,
Lalu mulai mencatat tapak demi tapak

_Nier Indra, kakakku, tinggallah, seperti dulu.
Tahun pun gegap dalam angka,  lalai menghitung hati.
Lewat renyuh dan ketaksampaian, kulepaskan wajahmu
melepaskan wajahku.

 

Terlihat sekali bahwa halim megambil inspirasi puisinya ini dari Goenawan, karena Halim menuliskan “: Dari GM Bukan Untuk GM”. Kita tahu bahwa GM adalah inisial dari nama panjang Goenawan Mohammad. Tapi apa yang dimaksud Halim menuliskan pesan itu saya kurang mengerti.

Antara Asmarandana Halim dan Asmarandana milik Goenawan sama-sama terdiri dari empat bait. Dan mungkin menurut saya cerita yang dibawa Halim dalam puisinya ini tidak bermuatan unsur pewayangan, tapi itu menurut pandangan subjektif saya. Maka dari itu saya akan mencoba membandingkan kedua puisi dengan judul yang sama dan dari penyair yang berbeda ini bait demi bait. Jika nanti hasil dari dari tulisan atau pembacaan saya dianggap kurang menyenangkan bagi kedua penyair saya meminta maaf, karena saya bukanlah pembaca puisi yang baik, saya hanya ingin membagi kegelisahan saya ketika membaca kedua puisi ini kepada orang lain.

Ya, saya mulai saja langsung pada bait pertama:

Dalam asmarandana milik goenawan bait pertama menggambarkan suasana sepi, dingin dan gelisah. Suasana sepi tergambar sayang jelas, karena tidak ada percakapan sama sekali yang ditunjukan dengan “tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata”, tapi dalam asmarandana milik halim suasana sepi itu seakan hilang dan diganti dengan birahi, karena halim menuliskan “tapi, diantara mereka berdua, saling bertukar desah lewat telinga masing-masing”. Dalam asmarandana milik goenawan juaga terdengar suara “kepak sayap kelelawar” dan “guyur sisa hujan” yang mejadikan suasana tergambar semakin sepi dan dingin. Sedangkan suasana gelisah digambarkan goenawan dengan “resah kuda” entah kenapa kuda itu resah, tapi menurut saya itu adalah lambang dari kegelisahan dimana anjasmara akan meninggalkan damarwulan untuk berperang. Sedangkan dalam asmarandana milik halim suara “kepak sayap kelelawar” diganti dengan “ringkih jangkrik” (yang meringkih bukannya kuda ya ?) selain itu hujan yang menjadikan suasana dingin dalam asmarandana milik halim belum berhenti “…hujan tak berkesudahan.”

Yang muncul dalam asmarandana milik halim adalah suasana acuh tak acuh, karena suasana ribut tak dihiraukan dan lebih sibuk dengan kegiatan bertukar nafas. Suasana gelisah hilang berganti menjadi suasana yang diselimuti berahi.

Dan, ada sebuah dendam di bait asmarandana milik halim “Ketika denyut jantung berdegup dari bangkai waktu yang telah dikerumuni dendam”. Entah dendan disini sebuah kiasan atau tidak, karena perasaan dendam hilang ketika dibaris terakhir ada kalimat “saling bertukar desah lewat telinga masing-masing”. Kekuatan kata dendam menjadi sirna dalam bait pertama.

Tapi antara halim dan goenawan, mereka sama-sama membawa misi yang sama, dan maksud yang sama. Yang disayangkan, halim membawa suasana dalam puisinya menjadi berbeda. Suasana modern muncul dalam puisi halim, sedangkan dalam puisi goenawan masih kental dengan suasana kerajaan dan pedesaan. Ada Hujan, ada kegelisahan, dan ada kesunyian, semua tertuang dalam kedua asmarandana milik kedua penyair ini. Tapi halim belum berhasil menguatkan asmarandananya seperti goenawan.

Selanjutnya pada bait kedua :

Gambaran kegelisahan semakin kuat dalam bait kedua asmarandana milik goenawan “Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.”. Damar wulan samakin gelisah karena dia harus meninggalkan anjasmara untuk melawan minak jingga. Tapi dalam puisi halim perpisahan diganti dengan pengusiran “Ia ucapkan pengusiran itu,  ketegaan itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan,” pengusiran adalah sebuah kata yang memilki konotasi jelek dibanding perpisahan. Dan suasana gelisah yang ada dalam asmarandana milik goenawan, dihilangkan oleh halim. Kemudian diganti dengan suasana kasar, kemarahan dengan penggunaan kata “pengusiran”. Kemudian suasana kasar diperkuat halim dengan menuliskan “lalu ia membuka pintu”.

Halim mungkin mencoba membedakan maksud pada bait kedua puisinya, tapi masih ada yang sama persis dengan puisi goenawan “Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.”. pada baris ini mungkin halim langsung copy paste dari puisi goenawan, dan itu hanya dugaan saya saja. Maksud halim membedakan isi bait kedia puisinya saya rasa kurang total, karena ada baris yang sama persis digunakanya dalam bait kedua asmarandana miliknya.

Yang dimaksud peta nasib dalam puisi Asmarandana milik Goenawan adalah sebuah kehidupan yang sudah terlihat jelas, karena juka Damar wulan kalah maka Anjasmara akan ditinggal sendiri, dan jika Damar wulan menang Anjasmara juga akan ditinggal sendiri karena Damar wulan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dan akan menikah dengan putri raja. Tapi Goenawan lebih menegaskan nasib Damarwulan kepada kematian dalam perjalanannya ke Blambangan dengan menulis “Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu.”. Tapi saya rasa peta nasib dalam Asmarandana milik Halim mempunyai makna berbeda dengan Asmarandana milik Goenawan. Peta nasib dalm Asmarandana milik Halim hanya berbicara mengenai kehidupan esok yang akan berubah setelah “ia membuka pintu”.

Ada yang berulang dan berubah dalam kedua puisi Asmarandana ini. Pada Asmarandana milik Goenawan ada larik “Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.”  dan itu berulang pada Asmarandana milik Halim, dan setelahnya ada yang berubah yaitu maksud dari lerik tersebut. Karena pada kedua penyair ini ada sejarah yang berbeda, yaitu jaman.

Bait ketiga:

Pada bait ketiga Asmarandana milik Goenawan ada kesedihan yang membuncah, karena Anjasmara tak lagi menangis, semua airmatanya telah habis karena melihat suaminya menjemput kamatian, itu terlihat dari “Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,”. Kata utara di sini melambangkan kematian karena yang dipakai adalah cerita Asmarandana yang berasal dari jawa, dan dalam adat jawa jenasah orang yang telah meninggal dibaringkan membujur ke utara. (saya ambil dari buku Pradopo, tapi lupa judulnya apa)

Dan larik “ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi” anjasmara mencoba membuang semua kenangan bersama Damarwulan, karena Anjasmara tahu dia tidak akan bersama Damarwulan lagi. Anjasmara pasrahkan semuanya pada nasib.

Sedang pada Asmarandana milik Halim kesedihan itu seakan dibuang, karena hanya ada “perempuan itu akan lebih cepat berjalan.” Perempuan yang telah keluar dari pintu dan meninggalkannya tanpa rasa apapun karena “Ia takkan menyampaikan penyesalan menjadi maaf.” Dan kata utara yang melambangkan kematian pada Asmarandana milik Goenawan seakan tak memberikan arti yang besar dalam Asmarandana milik Halim, karena yang dominan dalam bait ketiga Asmarandana milik halim adalah “Ia takkan menyampaikan penyesalan menjadi maaf.”  Kemudian halim menambahkan “Lalu mulai mencatat tapak demi tapak” seperti ada penyesalan yang tertinggal kembali setelah “Ia tutup lagi pintu,” dai itu saya anggap gagal mencapai makna yang dalam.

Memang jika dilihat dan dicermati, kedua puisi ini mempunyai maksud yang sama, yaitu perpisahan tapi sebuah perpisahan yang sangat berbeda jauh. Jika saya mengartikanya ada unsur postmodern dalam Asmarandana milik Halim, itu tergambar melalui latar yang dipakai Halim. Kebutuhan seks dan sifat nonsense adalah sebuah ciri postmodern yang hanya sedikit-sedikit saya tahu. Sedangkan dalam Asmarandana milik Goenawan latar kerajaan memperkuat legenda Damarwulan dan Anjasmara yang memang dalam ceritanya berlatarkan kerajaan.

Dan selanjutnya adalah bait terkakhir yaitu bait keempat:

Ketika Damarwulan hendak berangkat ke blambangan atau bisa disebut medan perang, dia ingin agar Anjasmara tak lagi bersedih karena “Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.” yang dimaksud Goenawan dengan menuliskan larik itu mungkin tidak ada yang akan berubah dengan diri Anjasmara dan akan tetap seperti dulu, mereka berdua hanya akan berpasrah pada nasib. Lalu suasana pepisahan itu semakin diperkuat dengan pesan Damarwulan agar dia dan Anjasmara saling melupakan, agar semua kenangan mereka berdua hilang dan tak ada yang tersakiti antara mereka berdua, itu tergambar jelas di larik “Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.” Suasana sedih, gelisah, dan perpisahan yang dibangun Goenawan dari bait pertama semakin kuat dalam bait terakhir ini, seperti ada yang berkesinambungan melalui enjambemen-enjambemen yang dibangun Goenawan dalam puisinya ini.

Sedangkan dalam Asmarandana milik halim sekali lagi ada kegagalan menurut saya, karena suasana yang penuh birahi di bait pertama hilang ketika saya mengetahui “Nier Indra, kakakku, tinggallah, seperti dulu. Tahun pun gegap dalam angka,  lalai menghitung hati.” Dan pengusiran yang ditulisakan di bait sebelumnya pun runtuh karena larik itu. Sepertinya halim mengalami kebingungan di sini karena semua suasana yang susah payah dibangunnya dari bait pertama sampai bait ketiga seperti hilang di bait ke empat, lalu larik “Lewat renyuh dan ketaksampaian, kulepaskan wajahmu melepaskan wajahku.” Mungkin mempunyai maksud yang sama dengan larik milik Goenawan. Tapi Halim gagal lagi membanfunnya. Selalu ada yang berubah di bait-bait puisi Halim, dan itu membuat saya bingung sebagai pembaca.

Dari keempat bait “Asmarandana” milik Halim dan “Asmarandana” milik Goenawan yang saya sambung-sambungkan itu, saya menemukan beberapa kegagalan dan perbedaan yang mencolok dalam kedua sajak ini.

Yang pertama adalah suasana yang sangat berbeda. Goenawan menggunakan suasana gelisah, sedih karena perspisahan dan latar kerajaan, sedangkan Halim menggunakan latar modern dan suasana yang hampir sama dengan Goenawan, tapi menurut saya dia gagal dengan memasukkan birahi kedalam suasana gelisah itu. Yang kedua adalah konsistensi Halim yang hilang, Halim sangat pintar membangun puisinya dari bait pertama sampai bait ketiga, tapi kita dibuat jatuh di bait keempat puisinya. Halim sepertinya ingin membawa pembaca untuk naik turun gunung dalam puisinya, sedangkan Goenawan membawa pembaca untuk turut merasakan kegelisahan Damarwulan dan Anjasmara.

Poin ketiga adalah perbedaan kesan yang tercipta saat membaca kedua puisi ini. Pada Asmarandana milik Goenawan, pembaca dengan mudah akan masuk kedalam suasana sedih karena membayangkan nasib Anjasmara yang akan ditinggalkan oleh Damarwulan, mungkin pembaca akan menempatkan dirinya sebagai Anjasmara jika membaca Asmarandana milik Goenawan ini. Lalu pada Asmarandana milik Halim pembaca sepertinya akan dibuat berputar-putar, karena jika membaca judulnya pembaca akan membayangkan cerita Anjsmara dan Damarwulan, tapi kenyataannya malah dalam puisi itu tidak ada sngkut pautnya dengan cerita Asmarandana. Selain itu pembaca akan semaki bingung dengan konsistensi halim yang berubah-ubah karena penampatan aku lirik yang semrawut.

Dan poin yang terakhir adalah kagagalan Halim membawa Asmarandana milik Goenawan kedalam Asmarandana miliknya, karena tak ada unsur kerajaan dan unsur jawa yang berhubungan dengan cerita Asmarandana. Tapi disamping semua itu menurut saya Halim adalah seorang penyair yang berbakat, karena diksi yang dipakainya melampaui diksi yang dipakai dalam Al-Quran

 

Leave a comment