REFLEKSI PERAN AKTIVIS MAHASISWA DALAM GEJOLAK DEMOKRASI INDONESIA MELALUI FILM GIE 2005
Penulis: Sandi Bima Seta
Editor: Redaksi Ideas
Judul Film : Gie
Sutradara : Riri Riza
Produser : Mira Lesmana
Skenario : Riri Riza
Durasi Film : 147 menit
Tanggal Rilis : 14 Juli 2005
“Jelas sekali ada intrik-intrik di dalam senat yang ingin menyingkirkan GMNI. Perobekan poster-poster GMNI membuktikan adanya unsur kontra-revolusioner dalam tubuh Senat!” Suasana ruang sidang mahasiswa memanas, Soe Hok Gie mengangkat tangan “Pak dekan, kalau boleh saya bicara,” ujar Gie sembari bangkit dari kursinya, dengan suara tenang namun tegas. “Saya hanya ingin menekankan bahwasanya tidak ada HMI atau GMNI di dalam Senat ini. Tidak ada golongan apa pun, individu-individu yang dipilih bukanlah wakil ormas, melainkan individu-individu yang…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara lantang dari barisan belakang pemotongan kasar “Heh, tutup mulutmu!” Dan seketika, ruangan yang semula dipenuhi semangat demokrasi berubah menjadi arena kericuhan.
Begitulah potongan adegan dalam film Gie pada menit ke 62, Ini adalah adegan penting dalam film Gie yang menggambarkan karakter Soe Hok Gie sebagai aktivis mahasiswa idealis yang netral menerima keterlibatan organisasi politik atau ormas apapun dalam lembaga kampus (Senat Mahasiswa). Gie adalah film biografi yang diangkat dari Catatan Seorang Demonstran, buku harian Soe Hok Gie seorang aktivis Tionghoa, intelektual muda, dan pecinta alam yang tumbuh di tengah gejolak politik Indonesia pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Diperankan oleh Nicholas Saputra, film ini menelusuri perjalanan Gie dari masa remajanya hingga kehidupannya sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Gie lantang menyuarakan kritik terhadap rezim yang korup dan otoriter. Ia berdiri teguh melawan ketidakadilan, menolak berkompromi dengan kekuasaan, bahkan berselisih dengan rekan-rekan mahasiswa yang dianggapnya oportunis.
Film Gie dibuka dengan suara pidato Bung Karno yang berapi-api, sebagai latar waktu dimana Gie hidup dan tumbuh di Jakarta pada era 1950-an. Semasa remaja ia sering membaca buku filsafat dan sastra, serta sangat kritis terhadap lingkungan sekitar. Ia bahkan pernah mendebat gurunya di dalam kelas perihal nama pengarang puisi, hingga ia harus pindah sekolah karena hal itu. Saat Gie menjadi mahasiswa Sastra Universitas Indonesia, ia semakin aktif menulis di media, mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno yang semakin otoriter. Gie bertemu dengan teman-teman dekat seperti Tan Tjin Han, sahabat masa kecil yang akhirnya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI); Sinta, wanita cerdas dan tegas yang dekat dengannya; dan Ira, sosok wanita lembut yang juga mencintai Gie namun terhalang oleh idealismenya. Pada masa ini juga Gie mendirikan Mapala UI, komunitas pecinta alam yang kelak menjadi tempat mengungsinya dari hiruk pikuk politik. Tahun 1960-an merupakan masa puncak aktivitas politik Gie. Ia ikut dalam berbagai aksi demo dan menulis kritik tajam terhadap pemerintahan Orde Lama. Ketika Indonesia semakin kacau akibat konflik antara pendukung Soekarno, militer, dan PKI, Gie tetap pada pendiriannya untuk tidak memihak. Ia menolak menjadi alat politik siapa pun, dan tetap menjadi suara independen dari rakyat. Tapi Film ini berakhir tragis Gie meninggal pada ulang tahunnya yang ke 27 saat mendaki gunung Semeru, ia meninggal karena menghirup gas beracun dari kawah, sehari sebelum ia resmi menjadi sarjana.
Biopik tentang Soe Hok Gie, Menyentuh hati nurani saya dengan menghadirkan potret aktivis muda yang berani melawan arus, meski harus sendiri. Dalam diri Gie, saya melihat idealisme yang jernih dan keberanian yang teguh, dua hal yang kini terasa semakin langka dalam ranah pergerakan mahasiswa modern. Hari ini, demokrasi Indonesia berjalan dengan sangat pincang. Pemerintahan diisi oleh orang-orang yang gagap di ranahnya, Saya masih ingat saat turun ke jalan menolak RUU TNI. Teman-teman mahasiswa menuntut dialog dengan anggota DPRD. Namun ketika pertanyaan dilontarkan, para wakil rakyat justru terbata, bahkan kebingungan. Ironisnya mereka semua pernah menjadi pelajar, namun seolah-olah tidak pernah belajar menjadi warga negara yang sadar akan demokrasi. Atau mungkin, sejak awal mereka tidak pernah belajar substansi keterlibatan kritis, keberpihakan pada rakyat kecil, dan etika dalam kekuasaan.
Di tengah kondisi seperti ini, seharusnya Mahasiswa menjadi barisan penyeimbang. Namun justru banyak dari mereka yang terjebak dalam pragmatisme politik, terkooptasi dengan institusi kepentingan, atau memilih diam karena apatis. Bukan berarti tidak ada suara perlawanan, masih banyak kelompok yang bergerak membawa isu agraria, lingkungan, HAM, pendidikan, perempuan, dan lain sebagainya. Namun gerakan mereka kerap tidak menyatu, kurang daya dorong, dan minimnya ekosistem yang mendukung. Di sisi lain, media sosial yang seharusnya menjadi alat amplifikasi justru sering menciptakan aktivisme instan yang tidak berbobot, ramai sehari, lalu hilang esok hari. Hari ini, yang dibutuhkan bukan sekedar turun ke jalan atau berteriak di forum-forum kampus. Yang dibutuhkan adalah konsistensi berpikir kritis dan keberanian. kita patut mencontohkan Soe Hok Gie, semasa hidup dalam masa politik yang gelap, tapi tetap jernih melihat yang benar dan salah.