Menggurat Visi Kerakyatan

Sejarah Yang Terulang

30

 

 

Jakarta menjadi lebih dingin dari biasanya, meskipun matahari bersinar sedang terik di atas gedung-gedung tinggi. Tidak ada suara klakson mobil yang bersahutan, tak ada demonstrasi mahasiswa yang berani turun ke jalan. Suasana ibu kota yang biasanya penuh hiruk pikuk kini berubah menjadi hening. Tidak ada media sosial yang memanas banjir kritik. Semua memilih diam.

 

Bima, seorang mahasiswa semester akhir, ia duduk dengan tenang di kamarnya yang kurang akan pencahayaan. Di tangannya, menggenggam secarik koran yang baru dibeli di warung dekat kampus. Dibacanya pada halaman terdepan dengan judul yang menganga begitu besar, membuat dadanya terasa sangat sesak.

 

“DWIFUNGSI TNI RESMI DISAHKAN, MILITER KEMBALI KE POLITIK”

 

Mata Bima langsung membelak penuh keterkejutan. Berharap matanya salah membaca. Namun, tidak. Keputusan itu nyata. Dengan undang-undang baru ini, militer kembali memiliki peran dalam pemerintahan sipil dan keputusan politik negara. Sama seperti konsep Dwifungsi ABRI, di masa Orde Baru, rakyat hidup di bawah bayang-bayang ketakutan.

 

Bima langsung menatap layar ponselnya. Beranda media sosialnya penuh dengan berita yang sama, dengan komentar tak terima seakan saat membacanya dapat melihat bola yang berapi-api. Beberapa teman diskusinya di kampus mencoba mengunggah tulisan berupa kritikan. Namun, sebagian besar unggahan tersebut hilang dalam hitungan jam. Bahkan sejak semalam, akun aktivis sudah tidak bisa diakses.

 

“Apakah kita akan benar-benar kembali ke masa itu?” gumamnya pelan dengan getir.

 

Ia langsung teringat dengan cerita ayahnya, seorang mantan aktivis yang dulu ikut menentang Orde Baru. Ayahnya bercerita tentang teman-temannya yang hilang tanpa jejak, para wartawan yang dibungkam dalam menyebarluaskan berita, mahasiswa yang dipukuli saat turun jalan dan lebih mengenaskan lagi mereka ditembaki secara brutal.

 

Pikiran Bima kemana-mana, ia gelisah tak karuan. Kalau ini dibiarkan, bertahun-tahun rakyat Indonesia akan terjerat dalam hidup yang kelam, kebebasan yang diperjuangkan bertahun-tahun akan sia-sia. Dengan geram, tangannya bergerak mengetik sesuatu di media sosial.

 

“Reformasi mati di tangan kita sendiri.” 

 

Ia kirim secara sadar dengan tangan bergetar dan rasa takut yang menggerogoti. Dalam hati, ia tahu tulisan ini beresiko. Tapi ini bukan waktunya untuk diam melihat bumi pertiwinya dikekang dalam cengkaman kekuasaan, Bima harus bertindak. 

 

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk keras. Bima langsung terlonjak. Panik. Napasnya seakan tertahan. Dengan ragu, tangannya membuka pintu dengan perlahan. Dua orang pria berdiri di depan pintu membawa wajah yang tidak bersahabat. Tidak banyak kata, kedua pria tersebut meraih lengan Bima dan menariknya keluar secara kasar. 

 

Langit jakarta kelabu. Dalam ruangan gelap, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang menggema. Ia tidak tahu akan dibawa kemana. Tapi satu hal yang pasti, sejarah sedang terulang. Kita ini benar-benar telah bebas, atau hanya berjalan dalam sebuah lingkaran?

 

Leave a comment