“Kampus kelola tambang”. Baca dan renungilah kalimat ini. Rasakan absurditasnya. Memang terdengar seperti lelucon, tetapi inilah kenyataan yang sedang dirancang dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Seakan-akan perguruan tinggi tak lagi cukup dengan urusan akademik, riset, dan pengabdian, kini mereka didorong untuk turut serta dalam bisnis ekstraktif. Sebuah kebijakan yang menegaskan betapa negara semakin kehilangan akal sehatnya dalam menentukan arah pendidikan tinggi.
Inisiatif DPR RI untuk memberi izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi melalui pasal 51A dan 75 dalam revisi RUU Minerba patut menjadi perhatian serius. Di balik alasan peningkatan riset dan pendidikan, langkah ini justru berpotensi merusak esensi pendidikan tinggi itu sendiri. Apakah biaya pendidikan rendah hanya bisa dicapai dengan mengorbankan kebebasan intelektual? Dan, bagaimana kita bisa menjamin biaya pendidikan akan lebih terjangkau ketika kampus lebih fokus pada keuntungan ekonomi ketimbang pengembangan ilmu pengetahuan? Tanpa jaminan yang jelas, ancaman ini tidak hanya mengguncang kelangsungan pendidikan, tetapi juga mengikis kebebasan akademis dan menghancurkan tujuan sejati pendidikan itu sendiri.
Agenda ini bukan sekadar isu administratif belaka, melainkan sesuatu yang berpotensi mengubah wajah kampus secara fundamental. Ini merupakan bentuk nyata dari bagaimana perguruan tinggi perlahan mulai digiring menjauh dari esensi akademiknya. Jika kampus mulai menambang, apa yang tersisa dari hakikat pendidikan tinggi?
Pada dasarnya, perguruan tinggi dirancang sebagai ruang intelektual yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan demi kepentingan masyarakat luas. Idealnya, kampus menjadi tempat dimana pemikiran kritis diasah, penelitian dilakukan dengan orientasi jangka panjang, dan kebenaran dikedepankan. Tetapi mungkin, itu tidak lagi dilihat sebagai hal penting oleh para aristokrasi kursi empuk saat ini. Teruslah berharap semoga kita tidak akan menyaksikan perguruan tinggi dijerat, bahkan menjadi pelaku utama dalam bisnis ekstraktif.
Pemberian hak istimewa kepada perguruan tinggi terhadap pengelolaan tambang jelas-jelas sangat bertentangan dengan esensinya sebagai institusi akademik. Tri Dharma Perguruan Tinggi, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dengan gamblang menggariskan tiga mandat utama: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Cermati sekali lagi, tidak ada satupun kata “penambangan” yang dicantumkan, apalagi dijadikan bagian dari tanggung jawab akademik. Bukankah suatu penindasan terhadap esensi pendidikan ketika kebijakan ini benar-benar diterapkan?
Mungkinkah kita telah mencapai titik di mana legitimasi akademik sudah begitu tipis, sehingga kampus didesak untuk mengeruk tanah dan sumber daya alam demi memperkaya segelintir elite? Jika rektor, dekan, dan segenap instrumen kampus lainnya benar-benar percaya bahwa menambang adalah bentuk aktualisasi Tri Dharma, barangkali yang perlu digali bukanlah tanah, melainkan kesadaran bahwa universitas tengah diarak menuju jurang pembungkaman.
Jika kampus diizinkan untuk menambang, bagaimana nasib penelitian yang idealnya berorientasi pada keberlanjutan lingkungan? Apakah kampus yang memiliki kepentingan bisnis di sektor ini masih bisa diharapkan untuk kritis terhadap dampak lingkungan akibat eksploitasi tambang? Tentunya akan ada pembatasan kebebasan akademik dalam mengkritisi dampak lingkungan, sosial dan budaya dari industri tersebut. Dosen yang ingin melakukan riset kritis bisa saja mendapatkan tekanan, baik dari dalam maupun luar institusi. Kebebasan akademik yang selama ini diagungkan bisa berakhir menjadi ilusi semata.
Tak hanya berhenti disitu, tentu ada konsekuensi ekologis yang tak bisa dikesampingkan. Praktik pertambangan seringkali melibatkan pengrusakan hutan, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem bisa mengubah wajah lingkungan secara drastis. Jika kampus ikut serta dalam eksploitasi sumber daya alam, hal ini bukan hanya memperburuk citra pendidikan tinggi, tapi juga mengalihkan peranannya dari agen perubahan menjadi agen kerusakan. Lantas dimana letak pendidikan, penelitian, dan pengabdian dalam konteks ini?
Pendidikan adalah fondasi utama untuk menyiapkan generasi yang cerdas dan peka terhadap dinamika sosial serta lingkungan. Di sinilah seharusnya perguruan tinggi berada, memelihara ilmu pengetahuan yang berorientasi pada keberlanjutan, moralitas, dan keadilan. Namun, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, perguruan tinggi di Indonesia akan menghadapi tantangan besar: seberapa jauh prinsip akademik itu akan tetap dipertahankan?
Sejauh ini, masih sedikit yang benar-benar menyadari dan menolak wacana ini. Meskipun beberapa akademisi dan rektorat kampus telah menyuarakan kekhawatiran, perlawanan terhadap keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang masih terbatas dan belum menjadi gerakan masif. Hanya segelintir kampus yang secara tegas menolak dengan alasan menjaga independensi akademik dan kebebasan ilmiah. Namun, di luar itu, banyak perguruan tinggi masih diam atau bahkan terlihat ragu untuk bersikap.
Di tengah polemik ini, respons dari berbagai perguruan tinggi pun beragam. Ada yang memilih untuk menolak secara tegas, ada yang diam seribu bahasa. Satu nama yang tidak dapat terhindarkan dalam perbincangan ini adalah Universitas Jember (Unej). Sebagai sebuah institusi yang mengusung kebebasan akademik dan nilai-nilai tri dharma, sangat janggal rasanya apabila kebijakan yang ada justru mengancam prinsip-prinsip dasar tersebut. Kampus yang tumbuh dan berkembang dengan alam sebagai bagian dari identitas akademiknya, kini terancam mempertaruhkan keberadaannya demi kepentingan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut?
Universitas Jember (Unej), sama halnya seperti kampus-kampus lain, semestinya menjadi lokomotif perubahan yang mengutamakan keadilan ekologi. Ketika perubahan iklim menjadi ancaman nyata dan dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan semakin sulit dikendalikan, justru universitas seharusnya mengambil peran sebagai pihak yang mencari solusi, bukan ikut terlibat menciptakan masalah.
Hingga saat ini, Universitas Jember (Unej) belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai wacana keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang. Keheningan ini justru menambah ketidakpastian, memunculkan satu pertanyaan besar: apakah Universitas Jember (Unej) akan memilih untuk bersikap kritis, dan mempertahankan marwah akademiknya ataukah ikut terjebak dalam arus kebijakan yang menggerus esensi perguruan tinggi?